751. Thalq bin Habib berkata: “Lindungilah
diri kamu dari fitnah dengan ketaqwaan.” Beliau ditanya, “Simpulkanlah untuk
kami apa itu ketaqwaan?” Beliau pun menjawab, “Iaitu engkau beramal dengan
ketaatan kepada Allah dengan petunjuk daripada Allah dengan mengharap rahmat
Allah. Dan engkau meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan petunjuk daripada
Allah kerana takut akan azab Allah.” (Minhajus, 4/527-531)
752. Syaikh as-Sa’di berkata dalam Tafsirnya:
“Sebagaimana para hamba (masyarakat) itu jika baik dan istiqamah berada di atas
jalan yang benar, maka Allah memperbaiki pemimpin mereka, iaitu menjadikan untuk
mereka pemimpin-pemimpin yang bersikap adil dan insaf. Bukan yang zalim lagi
jahat.” (Taisir Karim ar-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan, 1/273)
753. Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه berkata: “Ilmu itu lebih baik daripada
harta. Ilmu itu akan menjagamu, sedangkan harta engkaulah yang menjaganya. Ilmu
itu semakin berkembang dengan diinfakkan, sedangkan harta akan berkurang jika
dinafkahkan. Ilmu adalah yang mengaturmu, sedangkan harta, engkau yang akan
mengaturnya. Mencintai ilmu adalah agama yang seseorang itu beribadah dengannya.
Ilmu akan membuahkan ketaatan di dalam kehidupan pemiliknya serta mengharumkan
namanya setelah ia meninggal dunia. Kebaikan para pemelihara harta akan melenyap
bersamaan dengan kepergiannya. Para penimbun harta (pada hakikatnya) telah mati
(meskipun) mereka itu masih hidup. Adapun para ulama tetap kekal sepanjang masa.
Jasad mereka telah tiada, namun kenangan tentang mereka senantiasa melekat di
hati manusia.” (Durus fil Qira’ah al-Mustawa ar-Rabi, hal. 16)
754. Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه berkata: “Ilmu membisikkan pemiliknya
untuk diamalkan. Jika ia menjawab panggilan bisikan itu, maka ilmu akan tetap
ada. Namun jika ia tidak menjawab panggilan itu, maka ilmu akan pergi.”
(Iqtidhaul ‘Ilmil amal: hal. 41)
755. Imam Ahmad Rahimahullah berkata: “Manusia
lebih memerlukan ilmu dibandingkan makan dan minum, kerana makanan dan minuman
diperlukan manusia satu atau dua kali dalam satu hari. Akan tetapi, ilmu
senantiasa diperlukan seorang manusia setiap saat (selama nafasnya berhembus).”
(Thabaqat Al-Hanabilah, 1: 146)
756. Mu’adz bin Jabal berkata: “Pelajarilah
ilmu syar’i kerana mempelajarinya di jalan Allah adalah khasyyah, memperdalamnya
adalah ibadah, mengulang-ulangnya adalah tasbih (memuji Allah), membahas
(permasalahan-permasalahannya) adalah jihad, mengajarkannya kepada yang belum
mengetahuinya adalah shadaqah, dengan ilmulah Allah diketahui dan disembah,
dengannya Allah diEsakan dalam tauhid, dan dengannya pula diketahui yang halal
dan yang haram.” (Hilayatul Auliya 1: 239, Al-Ajmi’ 1: 65)
757. Al-Baghawi menyebutkan bahawa seseorang
memanggil dan berkata kepada Sya’bi, “Wahai ‘aalim berfatwalah.” Sya’bi
menjawab, “Sesungguhnya seorang ‘alim adalah yang memiliki khasyyah (rasa takut)
kepada Allah.” (Az-Zuhudl, hal. 15)
758. Ath-Thabari berkata: “Sesungguhnya yang
takut kepada Allah, menjaga diri dari azab dengan menjalankan ketaatan kepada
Allah hanyalah orang-orang yang berilmu. Mereka mengetahui bahawa Allah Maha
Mampu melakukan segala sesuatu, maka mereka menghindar dari kemaksiatan yang
akan menyebabkan murka dan adzab Allah.” (Tafsir Ath-Thabari, QS Fathir:
28)
759. Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata: “Berpegang
teguh dengan sunnah adalah keselamatan. Sementara ilmu diangkat dengan cepat.
Kekokohan ilmu adalah keteguhan bagi agama dan dunia. Hilangnya ilmu adalah
kehancuran bagi itu semua.” (Az-Zuhud: 817, Al-Jami’: 1018)
760. Amr bin Qays rahimahullah berkata: “Jika
sampai kepadamu suatu ilmu, maka amalkanlah meskipun hanya sekali.” (Hilyatul
Auliya, 5/10)
761. Imam Waki’ Rahimahullah berkata: “Jika
engkau hendak menghafal satu ilmu (hadits), maka amalkanlah!” (Tadribur Rawi:
2/588)
762. Imam Ahmad rahimahullah berkata:
“Tidaklah aku menulis suatu hadits melainkan aku telah mengamalkannya. Sehingga
suatu ketika aku mendengar hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan hijamah (bekam) dan memberikan upah kepada ahli bekam (Abu Thaybah)
satu dinar, maka aku melakukan hijamah dan memberikan kepada ahli bekam satu
dinar pula.” (Manaqib Ahmad, hal. 232)
763. Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه berkata: “Ingat-ingatlah (ilmu)
hadits. Sungguh jika kalian tidak melakukannya maka ilmu akan hilang.”
(Al-Muhadditsul Fashil, hal. 545)
764. Ibnu ‘Abbas berkata: “Mengulang-ulang
ilmu di sebagian malam lebih aku cintai daripada menghidupkan malam (dengan
shalat malam.” (Sunan Ad-Darimi: 1/82, 149)
765. Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib
adalah seorang yang terkenal sangat berbakti kepada ibunya, sampai-sampai ada
orang yang berkata kepadanya, “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada
ibumu, akan tetapi kami tidak pernah melihatmu makan bersama ibumu.” Beliau
menjawab, “Aku takut kalau-kalau tanganku mengambil makanan yang sudah dilirik
oleh ibuku. Sehingga aku berarti mendurhakainya.” (Uyunul Akhyar, Ibnu
Qutaibah)
766. Dari Anas bin Nadzr al-Asyja’i, beliau
bercerita, suatu malam ibu dari sahabat Ibnu Mas’ud meminta air minum kepada
anaknya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata sang Ibu sudah
ketiduran. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang
wadah berisi air tersebut hingga pagi.” (Birrul walidain, Ibnu Jauzi)
767. Haiwah binti Syuraih adalah seorang ulama
besar, suatu hari ketika beliau sedang mengajar, ibunya memanggil. “Hai Haiwah,
berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya
beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya. (al-Birr wasilah, Ibnu
Jauzi)
768. Adi bin Hatim رضي الله عنه berkata: “Sejak aku menjadi seorang
muslim, aku selalu memastikan bahawa aku telah berwudhu ketika adzan
dikumandangkan.” (As Siyar: 3/16)
769. Imam Ghazali mengutip atsar Al-Hasan:
“Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara
sekejab, lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya
kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian
sendiri.”
770. Syaikh Abul Hasan Ali An–Nadwi berkata:
“Salah satu usaha dalam dakwah ini adalah menjadikan dakwah sebagai cara untuk
mendatangkan orang awam kepada ulama, dan mewujudkan kerisauan ulama pada diri
orang awam. Dan orang awam dapat memahami derajat ketinggian ulama, sehingga
orang awam senantiasa mengambil manfaat dari para ulama. Sesuai dengan aturan
dan penegasan atas hal ini, dianjurkan agar senantiasa berkhidmat kepada alim
ulama.” (Sawanih Yusufi)
771. “Ilmu dan dzikir bagi gerakanku ini
laksana dua pergelangan tangan. Seperti dua buah sayap. Seandainya satu sayap
terlepas, maka burung tentu akan sulit terbang.” - Maulana Muhammad Ilyas
rah.a
772. “Ilmu tanpa dzikir adalah kegelapan dan
dzikir tanpa ilmu adalah pintu bagi banyak fitnah.” - Maulana Muhammad Ilyas
rah.a
773. “Segala tindak tanduk dan amal perbuatan
serta kesungguhan dan pengorbanan kalian akan menjadi rusak apabila kalian tidak
ambil perhatian terhadap ilmu agama dan dzikrullah. Bahkan kalian dalam keadaan
bahaya yang sangat besar serta besar kemungkinan jika kalian lalaikan kedua hal
tadi, maka usaha dan perjuangan kalian akan menjadi pintu–pintu baru bagi fitnah
dan kesesatan. Usaha dan perjuangan kalian tidak akan menjadi pintu bagi
terbukanya agama. Seandainya ilu tidak dipelajari, maka islam dan iman sekedar
adap istiadat saja. Dan seandainya ilmu ada namun tidak disertai dengan
dzikrullah maka semua akan mejadi kegelapan.” - Maulana Muhammad Ilyas
rah.a
774. “Di dalam kerja Tabligh ini, ilmu dan
dzikir mempunyai peranan dan perhatian yang sangat besar. Tanpa ilmu, tidak akan
mudah untuk beramal, dan tidak akan mengenal amalan. Dan tanpa dzikir, ilmu akan
menjadi kegelapan. Tidak akan dijumpai di dalamnya nur. Namun sayangnya hal ini
terasa kurang dalam ahli–ahli dakwah.” - Maulana Muhammad Ilyas rah.a
775. Imam Yahya bin Mu’adz رحمه الله berkata: “Hendaknya mu’min itu
mendapatkan darimu tiga perkara: 1. Jika kamu tidak bisa memberinya manfaat,
maka janganlah memberinya bahaya; 2. Jika kamu tidak bisa memberinya bahagia,
maka janganlah memberinya gundah; 3. Dan jika kamu tida memujinya, maka
janganlah mencelanya.” (Ar Risaalah Al Qusyairiyyah)
776. Berkata Hisyam bin Urwah Rahimahullah:
“Wahai anakku, berserilah wajahmu, ucapkan kalimat yang baik maka kamu akan
dicintai manusia, dari pada kamu mengambil simpati dengan suatu pemberian atas
mereka.” (Raudhatul Uqala', 1/75)
777. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
menukilkan di dalam suratnya kepada seseorang: “Adapun dunia yang saudara
tegakkan atau saudara dudukkan untuk (menghalangi) mereka, maka kata-kata
penyair berikut ini sangat sesuai untuk saudara: “Kambing penanduk untuk
menghancurkan batu tidak akan membahayakannya. Pada suatu hari, tanduk kambing
itu (pasti) akan hancur.” (Jilaaul Adzhan, Menyingkap Tabir Kesalahfahaman
terhadap Jamaah Tabligh)
778. Berkata Sa’id bin Jubair Radhiallahuanhu:
“Senantiasa seseorang menjadi pandai selama dia tetap belajar, ketika dia tidak
belajar dan merasa cukup ilmunya maka ketika itu dia menjadi orang yang paling
bodoh.” (Adabul Alim Wal Muta’allim, hal. 32)
779. Iman Ibnu Hazm rahimahullaahu ta'ala
berkata: “Setiap Nikmat yang tidak mendekatkan pemiliknya kepada ALLAH Subhanahu
Wa Ta'ala maka itu adalah (sebuah) petaka.” (Hilyatul Auliya': III/266,
no.3908)
780. “Orang yang mampu menghancurkan
kebathilan bukan orang yang pandai beramal, tetapi orang yang memiliki KEYAKINAN
didalam hatinya.” - Maulana Muhammad Yusuf rah.a
781. “Doa akan dikabulkan, jika menghindari
makanan-makanan yang HARAM. Dan akan lebih dikabulkan lagi jika yang MAKRUH pun
dihindarkan.” (Tadzkirah Hadraji, hal. 195)
782. Muhammad bin an-Nadhar al-Haritsi
menyatakan: “Pertama yang harus dipelajari DIAM terhadap ilmu, kemudian
mendengarkan, menghafal, mengamalkan lalu menyebarkan (menda'wahkan).” (Syu'abul
Iman, 2/289)
783. Imam asy-Syafi'i berkata: “Ilmu itu
tidaklah indah kecuali dengan tiga perkara; 1.Takwa kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala. 2.Sesuai dengan Sunnah (petunjuk) Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.
3.Dan rasa takut kepada Allah azza wa jalla.” (Manaqib Syafi'i,
I/470)
784. Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Allah harus ditaati tanpa dimaksiati, diingat tanpa dilupakan dan disyukuri
tanpa di ingkari.” (Al-Hakim, ll/294)
785. Seorang tabi’in bernama Makhul (wafat 118
H) berkata: “Aku pernah melihat seseorang mengerjakan sholat. Setiap kali ruku’
dan sujud ia selalu menangis. Lalu aku (berburuk sangka) menuduh ia menangis
karena riya’. Namun akibatnya, justru aku tidak bisa menangis (dalam sholat)
selama setahun.” (Hilyatul Auliya': 5/184)
786. Saidina 'Ali R.H mengungkapkan: “Tidakkah
kamu malu? Tidakkah kamu cemburu? Salah seorang di antara kamu membiarkan
isterinya pergi ke khalayak kaum lelaki dan dia melihat mereka serta mereka
(para lelaki) pun melihatnya pula.” (adz-Dzahabi, al-Kaba’ir, m/s.
171-172)
787. Seorang gabenor kota Makkah, Attab bin
Usaid Al-Umawiy pernah berkata: “Wahai penduduk Makkah, Demi Allah tak ada yang
sampai berita salah seorang diantara kalian ada yang tertinggal sholat dimasjid,
kecuali aku akan tebas lehernya.” (Ash-sholah, hal.122)
788. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Ahlus Sunnah Wal Jama'ah adalah mengikuti jejak langkah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam secara lahir dan batin dan mengikuti jalnnya As-Sabiqunal
Awalun (orang-orang pertama yang masuk Islam) dari kalangan kaum muhajirin dan
Anshar.” (Majmu' Fatawa: 3/157)
789. Berkata Ibnu Hazm: “Jika engkau
menghadiri majelis ilmu, maka janganlah engkau menghadirinya kecuali kehadiranmu
untuk menambah ilmu dan mencari pahala. Dan bukanlah kehadiranmu itu dengan
merasa sudah cukup ilmu yang ada padamu, atau demi mencari-cari kesalahan (dari
pengajar) untuk menjelekkannya. Hal tersebut adalah perilaku orang-orang yang
hina, yang mana mereka tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya.”
(Al Akhlaq Was Siyar: 193)
790. al-Khaththabi rahimahullah (Wafat: 388H)
berkata: “Nasihat adalah perkataan yang menjelaskan sebahagian besar perkara
yang merujuk kepada menghendaki kebaikan kepada yang diberi nasihat.” (Jami’
al-‘Ulum wa al-Hikam, m/s. 79)
791. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
(691H-751H) berkata: “Nasihat adalah sifat ihsan yang lahir dari perasaan
belas-kasihan semata-mata kerana Allah, dan bersedia untuk menanggung sebarang
akibatnya, seperti cacian yang buruk daripada orang yang dinasihati setelah
dilakukan dengan lemah lembut. Jika nasihat untuk meyakinkannya tidak diterima,
maka orang yang memberi nasihat tersebut tidak dikira melampaui batas dan dia
akan menerima balasan atas usahanya tersebut daripada Allah, di samping
merahsiakan (menutup aib) orang yang dinasihatinya dan sentiasa mendoakannya
(dengan kebaikan).” (Fiqh as-Siyasah asy-Syar’iyah fii Dhaw al-Qur’an wa
as-Sunnah wa Aqaul Salaf al-A’immah, m/s. 208)
792. Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah
berkata: “Hanya orang yang berilmu yang lemah-lembut sahaja berhak untuk menegur
pemerintah mereka supaya melakukan kebaikan dan menghalang dari kejahatan serta
bersikap adil dalam menyampaikan nasihat.” (Syarhus Sunnah, 10/54)
793. ‘Abdul Malik B. Marwan (seorang Khalifah
Bani Umayyah) berkata: “Berlaku adillah kepada kami wahai seluruh rakyat. Kamu
mahukan daripada kami seperti pemerintahan Abu Bakr dan ‘Umar, tetapi kamu tidak
mahu berjalan bersama kami dan tidak pula mencontohi rakyat di zaman mereka
berdua (Abu Bakr dan ‘Umar).” (ath-Thurthusyi, Siraj al-Muluk, 1/94)
794. Syeikh Abul Hassan Ali Nadwi Al Hassani
menyatakan: “Kerajaan Islam bukan impian, bukan matlamat dan juga bukan
perbualan harian Nabi s.a.w dan Para Sahabat r.anhum.” (Ilal Islami Min Jadid,
107 dan 161)
795. Syeikh Abul Hassan Ali Nadwi Al Hassani
menyatakan: “Kezuhudan akan membangkitkan dalam jiwa kekuatan-kekuatan yang
terpendam, menyalakan bakat dan kebolehan serta menyalakan ruh dan
semangat. Sedangkan keselesaan dan kemanjaan akan
membodohkan perasaan, menidurkan jiwa dan mematikan hati..” (Rijāl al-Fikr Wa
al-Da’wah: 1/104-105)
796. Berkata Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
dalam perkara menunda-nunda kebaikan: “Sekedar berangan-angan (tanpa realisasi)
itu adalah dasar dari harta orang-orang yang bangkrut (muflis).” (Madarijus
Salikin: 1/456, Zaadul Ma’ad: 2/325, Ar Ruuh: 247, ‘Iddatush Shobirin:
46)
797. Syaikh Yahya al-Hajuri berkata:
“Menyampaikan kebaikan kepada umat manusia adalah termasuk bagian keimanan.
Janganlah ada yang mengira bahwa dakwah illallah ataupun tabligh yang dilakukan
oleh seseorang itu akan sia-sia belaka selama ia bersikap jujur kepada Allah
(ikhlash dalam amalnya) , meskipun tidak ada seorangpun yang menerima dakwahmu
maka kamu tetap mendapatkan pahala.” (Syarh al-Arba'in: 105)
798. Hadrathji Yusuf rahmatullahi mengatakan:
“Deen/agama tidak dapat difahami dengan tetap di satu tempat. Deen difahami
dengan bergerak. Renungkanlah! Wahyu/ Al-Quran itu tidak diturunkan di satu
tempat. Wahyu diturunkan kadang-kadang di rumah, kadang-kadang dalam perjalanan
dan kadang-kadang dalam pertempuran..”
799. Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata:
“Sesungguhnya, di antara kelemahan imanmu, engkau lebih percaya kepada harta
yang ada di tanganmu daripada perbendaharaan yang ada di sisi Allah.” (Jami’ul
‘Ulum wal Hikam, 2:147)
800. Abu Darda radhiallahu'anhu berkata:
“Barangsiapa yang menganggap bahwa berangkatnya seseorang mencari ilmu itu bukan
jihad, maka sungguh dia kurang akal dan fikiran.” (Shahih Jami’ Al Bayan, 35/56)
- ilmu agama.