701. Syiekh Muhammad Ilyas Al-Kandhalawi
Rahmatullahi A`alaih berkata: “Bagaimana aku ingin berhenti dari melakukan
dakwah ini, sedangkan kekasihku, Nabi s.a.w sendiri terpaksa mengalami kesusahan
dan kepayahan untuk agama ini. Walaupun baginda s.a.w sendiri telah di janji
dengan segala kebaikan oleh Allah s.w.t,namum baginda s.a.w telah memilih untuk
terjun dalam lautan kesusahan dan kepayahan dalam menghidup dan mengamalkan
agama ini.” (Bayan Hidayat Ijtimak Bhopal)
702. ‘Abdullah bin ‘Ubaidillah bin Abi
Mulaikah Rahmatullahi A`alaih berkata: “Aku mendapati 30 orang Sahabat Nabi
s.a.w., semuanya merasa takut kemunafikan menimpa diri mereka, tidak ada seorang
pun dari mereka berkata bahawa imannya seperti keimanan Malaikat Jibril dan
Mika’il.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari)
703. Al-Hasan berkata: “Janganlah kalian sibuk
dengan urusan dunia, kerana dunia itu sangat menyibukkan. Tidaklah seseorang
membukakan pintu kesibukan untuk dirinya, melainkan akan terbuka baginya sepuluh
pintu kesibukan lainnya.” (Az-Zuhd: 189)
704. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata:
“Barangsiapa bercita-cita meraih perkara-perkara yang tinggi (syurga), maka
wajib baginya mengatasi kecintaan pada perkara-perkara yang rendah (dunia).”
(Miftah Dar as-Sa’adah: 1/108)
705. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata:
“Pandangan adalah sumber berbagai bencana yang banyak menimpa manusia, kerana
pandangan akan melahirkan angan-angan, lalu angan-angan melahirkan pemikiran,
pemikiran melahirkan syahwat, dan syahwat memunculkan keinginan, lalu keinginan
itu makin menguat hingga menjadi azam (tekad), akhirnya terjadilah perbuatan
jika tidak ada yang menghalangi. Maka dikatakan bahawa bersabar untuk menahan
pandangan lebih ringan dibanding bersabar menahan derita setelahnya.” (Madakhil
asy-Syaithan li ighwa’ al-Insan, min kalam al-Imam)
706. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata:
“Angan-angan seseorang berkisar pada empat perkara, iaitu; Pertama, angan-angan
yang memberikan manfaat keduniaan; Kedua, angan-angan yang mendatangkan mudharat
keduniaan; Ketiga, angan-angan yang memberikan maslahat akhirat; Keempat,
angan-angan yang mendatangkan mudharat akhirat. Maka hendaknya seseorang selalu
melihat kepada apa yang dia angankan, dia fikirkan, dan dia inginkan lalu
menimbangnya dengan empat perkara di atas. Lalu memilih yang terbaik,
mendahulukan mana yang terpenting, mengakhirkan yang kurang penting.” (Madakhil
asy-Syaithan li ighwa’ al-Insan, min kalam al-Imam)
707. Yahya bin Muadz berkata: “Hati itu ibarat
periuk yang sedang mendidih, sedangkan lisan ibarat gayungnya. Maka
perhatikanlah seseorang ketika berbicara, kerana lisannya sedang mencedok
untukmu apa yang ada dalam hatinya, manis atau pahit, tawar atau masin, dan
sebagainya. Dan cedokan lisannya akan menje- laskan kepadamu rasa hati orang
itu.” (Madakhil asy-Syaithan li ighwa’ al-Insan, min kalam al-Imam)
708. Abdullah Ibn Mas'ud radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Sesungguhnya orang beriman melihat dosa-dosa seperti dia seorang yang
duduk di bawah kaki bukit, dan merasa takut bukit itu (runtuh lalu) menimpanya.
Sesungguhnya orang yang berdosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang lalu
dihidungnya.” (Sya'bul Iman Lil Baihaqi: 6602)
709. Abu Sai'd al-Khudri radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Sesungguhnya kalian akan melakukan amalan yang di mata kalian lebih
kecil daripada sehelai rambut, sedangkan kami di zaman Rasulullah memandang ia
sebagai perkara yang menghancurkan.” (Musnad Ahmad: 10783)
710. Bakr al-Muzani berkata: “Keutamaan Abu
Bakar berbanding sahabat yang lain bukanlah dengan banyaknya berpuasa mahu pun
solat, tetapi dengan apa yang ada di dalam dadanya.” Salah seorang salafus soleh
berkata: “Hal yang ada di dalam dada Abu Bakar adalah cinta kepada Allah dan
selalu memberi nasihat kepada manusia.” (Latho-if al-Ma’arif, hal.
563-564)
711. Fatimah binti Abdul Malik (isteri Umar
bin Abdul Aziz) ditanya tentang amalan suaminya, maka ia menjawab: “Demi Allah,
dia bukanlah seorang yang paling banyak melakukan solat mahu pun berpuasa.
Tetapi, demi Allah, aku tidak melihat seorang pun yang lebih takut kepada Allah
berbanding dirinya. Dia berzikir diatas kasur (alas tidur), lalu tubuhnya
bergerak-gerak seperti burung kecil yang sangat ketakutan, sehingga kami
berkata: “Esok hari orang akan kehilangan seorang khalifah.” (Latho-if
al-Ma’arif, hal. 563-564)
712. Salah seorang ulama salafus soleh
berkata: “Tidaklah kami mencapai darjat yang tinggi dengan banyaknya melakukan
ibadat solat atau pun berpuasa. Tetapi kami mencapainya dengan kemurahan hati,
keselamatan jiwa, rendah hati (tawadhu'), dan selalu menasihati manusia.”
(Latho-if al-Ma’arif, hal. 563-564)
713. Coba kita bermuhasabbah mana rezki yang
Allah berikan yang terpakai buat menyenangkan Allah dan yang terpakai untuk
memuaskan nafsu. Lihat kebendaan kita yang ada di rumah dan lihat apa yang telah
kita korbankan untuk agama. Ini semua akan di hisab dan akan di mintakan
pertanggung jawabannya. Berapa banyak Rezki yang Allah telah kasih tetapi kita
selewengkan hanya untuk memuaskan nafsu kita bahkan untuk bermaksiat kepada
Allah. Allah Maha Tahu dan Allah punya team khusus yang bisa membuktikannya
Sesungguhnya perhitungan Allah ini cepat, tepat dan akurat. Namun mengapa hari
ini ketika kita diminta untuk korbankan harta dan diri untuk agama kita masih
ragu-ragu, ini karena kita belum buat keputusan. - KH. Abdul Halim
714. Allah menjadikan mata sebagai cermin
hati. Jika seseorang menahan pandangan matanya, bererti dia menahan syahwat dan
keinginannya. Jika dia menbebaskan pandangan matanya, bererti dia membebaskan
syahwat hatinya. (Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah)
715. Berkata Ibnu Ruslan: “Ubat hatimu yang
keras ada lima. Amalkan kelima hal itu nescaya anda akan selamat: (1)Tidak
mengenyangkan perut dan (2)merenungkan makna Al-Qur’an. (3)Rendah diri pada-Nya
dengan menangis di waktu sahur. (4)Lalu solat tahajud di malam hari. (5)Dan
bergaullah dengan orang-orang yang baik dan soleh.”
716. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah berkata:
“Apabila sempurna ketakutan hamba kepada Tuhan, maka dia tidak akan takut kepada
sesuatu selainNya. Apabila kurang ketakutan hamba kepada Tuhan, maka dia akan
takut kepada makhluk. Kadar ketakutannya kepada makhluk bergantung kepada
kekurangan dan pertambahan ketakutannya kepada Allah.” (Majmu’ al-Fatawa:
1/94)
717. Aku belum pernah melihat orang yang
paling lama bersedih daripada al-Hasan. Ia berkata, “Kita tertawa, sementara
bisa jadi Allah yang telah melihat amal-amal yang telah kita perbuat berfirman,
Aku tidak mau menerima amal-amal kalian sedikitpun.” (Yunus bin
‘Ubaid)
718. Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Semua ilmu
yang tidak membuahkan amal, maka tidak dalam syariat satu dalil pun yang
menunjukkan akan baiknya ilmu tersebut.” (Al-Muwafaqat: 1/74)
719. Sebahagian ahli bijak berkata: “Ilmu
adalah pembantu bagi amal, dan amal adalah puncak dari ilmu.” (Iqtidhaul Ilmi
Al-’Amal, 14-15)
720. Abu Ad-Darda’ berkata kepada seseorang:
“Apakah semua masalah agama yang kau tanyakan kau amalkan?” Orang itu menjawab:
“Tidak.” Maka Abu Ad-Darda’ menempelaknya: “Apa yang engkau lakukan dengan
menambah hujah yang akan menjadi beban bagimu?” (Al-Muwaafaqaat 1/82, Al-Jami’:
no. 1232)
721. Al-Imam Asy-Syathibi berkata:
“Sesungguhnya ruh ilmu adalah amal. Jika ada ilmu tanpa amal, maka ilmu tersebut
kosong dan tidak bermanfaat.” (Al-Muwafaqat, 1/75)
722. Al-Khathib al-Baghdadi berkata: “Tujuan
ilmu adalah amal, sebagaimana tujuan amal adalah keselamatan. Jika ilmu kosong
dari amal, maka ilmu itu akan menjadi beban bagi pemiliknya. Kita berlindung
kepada Allah dari ilmu yang menjadi beban dan mendatangkan kehinaan, dan
akhirnya menjadi belenggu di leher pemiliknya.” (Iqtidhaul Ilmi Al-’Amal,
14-15)
723. Ali bin Abu Thalib berkata: “Apabila aku
bacakan kepada kalian sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, maka anggaplah bahawa Rasulullah yang menyampaikannya, dia yang
memberi petunjuk dan dia yang berwasiat takwa.” (HR. Ibnu Majah, 20)
724. Al-Imam Ar-Roghib Al-Ashfahan berkata:
“Taqwa ialah menjaga jiwa daripada perbuatan yang mendatangkan dosa, dengan cara
meninggalkan apa yang dilarang dan hal itu menjadi sempurna dengan meninggalkan
sebahagian yang dihalalkan.” (Ar-Risalah At-Tabukiyyah, hal. 10)
725. Al-Imam An-Nawawi menyatakan taqwa
adalah: “Mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.” (Tahrir
Alfazh At-Tanbih, hal. 322)
726. Al-Imam Ibnu Rejab rahimahullah berkata:
“Taqwa seorang hamba kepada Allah, ia membuat pelindung antara dirinya dengan
sesuatu yang ia takuti dari Rabb-nya berupa kemarahan, murka, dan siksaan-Nya;
pelindung itu akan menjaga dirinya dari hal tersebut. Sedang ia (pelindung itu)
adalah melakukan ketaatan kepada-Nya, dan menjauhi kederhakaan kepada-Nya.”
(Jami'ul Ulum wal Hikam, 1/158)
727. Tholq bin Habib rahimahullah berkata:
“Taqwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya (ilmu) dari
Allah karena mencari pahala di sisi Allah, dan engkau meninggalkan maksiat
berdasarkan cahaya (ilmu) dari Allah, kerana takut terhadap siksaan-Nya.”
(Ar-Risalah At-Tabukiyyah, hal. 10)
728. Umar bin Abdul Aziz memberi nasihat di
khutbah terakhirnya sebelum wafat, akhir khutbahnya beliau berkata: “Aku
mengucapkan kata-kata ini kepada kalian dan tidak ada seorang pun yang aku
ketahui lebih banyak dosanya dibanding diriku. Hanya saja aku selalu memohon
ampun dan bertaubat kepada-Nya.” Setelah itu beliau menangis tersedu-sedu
kemudian turun dari mimbar. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya. (Latho-if
al-Ma’arif, hal. 351)
729. “Dalam setiap rakaat solat ada dua sujud.
Hikmahnya, semasa sujud yang pertama, ingatlah bahawa kita dicipta dari tanah.
Kemudian semasa sujud yang kedua, ingatlah bahawa setelah kehidupan dunia ini,
kita akan kembali menjadi tanah, kemudian akan dibangkitkan serta dihisab
kehidupan dunia ini.” - Syeikh Muhammad Yusuf al-Kandahlawi rah.a
730. “Jannah adalah untuk orang yang tawadhuk.
Jika pada diri manusia ada sedikit sifat takabbur maka ia akan dibakar di dalam
api neraka. Apabila tinggal sifat tawadhuk sahaja pada dirinya maka barulah dia
akan dimasukkan ke dalam jannah. Tidak ada seorang pun yang boleh memasuki
jannah jika masih ada sebesar zarah takabbur pada dirinya.” - Asy-Syaikh
Muhammad Ilyas al-Kandahlawi rah.a
731. Asy-Syaikh Muhammad Ilyas al-Kandahlawi
rah.a mengatakan: “Sudah menjadi kebiasaan kita, iaitu merasa senang dengan
ucapan-ucapan yang baik, dan kita menganggap bahwa nasehat-nasehat baik tersebut
sudah cukup menunaikan kerja asal kita. Tinggalkan kebiasaan itu dan bekerjalah,
sebagaimana disebutkan dalam syair: “Hai pekerja, kalian biasa bersuka ria
dengan nasehat-nasehat baik, tinggalkan nasehat-nasehat itu gantilah dengan
amal-amal baik.” (Mutiara Hikmah Ulama Ahli Da’wah)
732. Asy-Syaikh Muhammad Ilyas al-Kandahlawi
rah.a mengatakan: “Cara menyelesaikan berbagai masalah, baik masalah peribadi,
masalah umat, mahu pun masalah politik adalah dengan Dakwah dan Usaha Agama,
berdasarkan satu fikir. Cara-cara yang ditempuh di luar usaha agama nampaknya
sahaja dapat memberikan hasil dan keuntungan dengan segera, sekalipun hanya
dengan pengorbanan yang sedikit. Dalam pada itu, usaha agama menghendaki
pengorbanan yang besar sedangkan keuntungannya tidak segera dapat dilihat.
Itulah sebabnya mengapa orang-orang menjauhi dari usaha agama. Demikian pula
orang-orang yang terlalu tergesa-gesa dalam menarik kesimpulan ketika melihat
orang-orang yang “tidak produktif” seperti kita atau ketika melihat asas usaha
dakwah kita. Namun ternyata mereka tidak mampu melihat hakikatnya, yakni tidak
mampu memahami hakikat syariah.” (Malfoozat)
733. Sebahagian ulama berkata: “Nasihat hanya
bermanfaat jika keluar dari dalam hati, kerana nasihat tersebut akan sampai pula
ke hati. Tetapi jika nasihat tersebut sekadar keluar dari lisan, maka hanya akan
masuk ke dalam telinga kemudian keluar melalui telinga yang lain.” (Latho-if Al
Ma'arif: 55)
734. Sebahagian salafus soleh berkata: “Jika
seorang yang berilmu menyampaikan nasihatnya tidak ikhlas kerana Allah, nescaya
nasihatnya itu akan hilang dari hati pendengarnya seperti berhentinya hujan di
saat langit sudah cerah.” (Latho-if Al Ma'arif: 55)
735. Yahya bin Muadz pernh bersyair: “Nasihat
dari pemberi nasihat tidak dapat diterima, Sampai dirinya memahami nasihat itu
pertama kalinya. Wahai kaum, siapakah yang lebih berbuat aniaya, Daripada
seorang pemberi nasihat yang telah melanggar nasihatnya. Dihadapan manusia ia
memperlihatkan sifat baiknya, Dan Allah akan memperlihatkan sifat buruknya.”
(Latho-if Al Ma'arif: 55)
736. Yahya bin Muadz berkata: “Hati ibarat
periuk dengan isinya yang mendidih. Sedangkan lidah adalah gayungnya. Maka
perhatikanlah apabila seseorang berbicara. Kerana sesungguhnya lidahnya akan
menuangkan untukmu apa yang ada di dalam hatinya, apakah manis, pahit, tawar,
masin atau rasa lainnya.” (Hilyatul Auliya: 10/63)
737. Ibnu Umar berkata: “Berhati-hatilah
terhadap agamamu, sebab dia adalah darah dagingmu. Lihatlah dari mana kamu
mengambilnya. Ambillah dari orang istiqomah dan janganlah mengambil dari orang
yang menyeleweng.” (Al Kifayah, hal. 121)
738. Hazrat Umar bin Khattab r.a berkata:
“Sekiranya kehidupan dunia ini, sejak pertama kali hingga akhirnya, diberikan
kepada satu orang saja, kemudian tiba-tiba kematian menghampirinya, maka hal itu
serupa dengan orang yang melihat sesuatu yang menyenangkannya dalam mimpi,
kemudian dia pun terbangun dan ternyata di tangannya tidak ada sesuatu pun.”
(Madarijus Salikin, Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah)
739. Sesiapa yang menambahkan sifat-sifat
Islam dalam dirinya, maka dialah yang akan menjadi sumber hidayat untuk umat. -
Maulana Muhammad Yusuf rah.a
740. Syeikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi,
pengarang Tafsir al-Aisar memetik syair dalam memberi pandangan berimbang
terhadap usaha dakwah dan tabligh: “Pandangan ridha atau senang selalu tumpul
(buta) terhadap setiap aib, sedangkan benci selalu membongkar
keburukan.”
741. “Suatu hal yang sering dikatakan orang
sebelum kami (iaitu para sahabat) berpegang teguh dengan sunnah (Nabi sallallahu
‘alaihi was sallam ) adalah sebuah jalan keselamatan.” (Imam
Az-Zuhri)
742. “Ramai manusia menangis kerana masalah
cinta dan kehidupan tetapi sangat sedikit manusia yang risaukan keadaan umat
islam dan ia menangis kerana Allah S.W.T.” - Hazrat Asy Sheikh Maulana Ih`naamul
Hassan Khandahlawi Rahmatullahi A`laih
743. Imam Asy-Syafi’i berkata: “Mereka
menanyakan mengapa engkau diam padahal engkau telah dihujat, maka kepada mereka
aku katakan: Sesungguhnya menjawab mereka dapat membuka pintu kerusakan;
Sedangkan diam dari orang jahil nan pandir adalah kemuliaan; Dan dalam diam itu
juga merupakan perbaikan untuk terpeliharanya kehormatan.”
744. Utsman ibn Affan radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Memikirkan (mengutamakan) urusan akhirat adalah merupakan tanda cahaya
didalam hati.”
745. Umair bin Habib Al-Anshoriy radhiyallahu
‘anhu berkata: “Jika seorang diantara kalian ingin memerintahkan yang ma’ruf,
dan melarang dari kemungkaran, maka hendaklah ia menempatkan dirinya di atas
kesabaran terhadap segala cubaan (ujian), dan meyakini (akan mendapatkan) pahala
dari Allah. Kerana barangsiapa yang meyakini (akan mendapatkan) pahala dari
Allah, maka dia tidak akan merasakan cubaan apa pun. (HR. Ibnu Abid Dunya dalam
Al-Hilm, 1/30)
746. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah Rahimahullah
berkata: “Empat perkara yang dapat membuat hati menjadi keras iaitu berlebihan
dalam berbicara, makan, tidur dan bergaul.” (Fawa-idul Fawa-id,
hal.26)
747. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah Rahimahullah
berkata: “Jika mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar
dan di benci oleh Allah dan RasulNya, maka tidak boleh dilakukan, sekalipun
Allah membenci pelaku kemungkaran dan mengutuknya.” (I’laamul Muwaqqi’iin,
3/4)
748. Az-Zuhr Rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya ilmu dicari seiring dengan perjalanan siang dan malam. Barangsiapa
yang ingin mendapatkan segudang ilmu secara tiba-tiba, nescaya ilmu yang
diperoleh akan cepat hilang.”
749. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah Rahimahullah
berkata: “Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan
akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh kerana itu, hilangnya
suatu nikmat dari seorang hamba adalah kerana dosa. Begitu pula datangnya
berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al Jawabul Kaafi, hal.
87)
750. Ketika Mu'adz bin Jabal ra. hampir
wafatnya, dia berkata: “Ya Allah, aku dahulu takut kepada-Mu dan saat ini aku
mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahawa aku tidak mencintai dunia
dan tidak suka berlama-lama di dalamnya kerana mengalirnya sungai-sungai dan
tumbuhnya pepohonan. Namun yang aku sukai adalah panasnya matahari dan
penderitaan sesaat serta berkumpul dengan para Ulama.” (Hilyah al-Auliya:
1/239)