Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy lahir
pada tahun 1303 H (1886) di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar
Prades, India. Ayahnya bernama Syaikh Ismail dan Ibunya bernama Shafiyah
Al-Hafidzah. Keluarga Maulana Muhammad Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama.
Saudaranya antara lain Maulana Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad
Yahya.
Ayah beliau, Syaikh Muhammad Ismail adalah
seorang ruhaniwan besar yang suka menjalani hidup dengan ber-uzhlah, berkhalwat
dan beribadah, membaca Alquran serta mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu agama.
Adapun ibunda beliau, Shafiyah Al-Hafidzah, adalah seorang Hafidzah Alquran.
Maulana Muhammad Ilyas pertama kali belajar agama pada kakeknya, Syaikh Muhammad
Yahya. Beliau adalah seorang guru agama pada madrasah di kota kelahirannya.
Kakeknya adalah penganut mazhab Hanafi dan teman dari seorang ulama dan penulis
Islam terkenal, Syaikh Abul Hasan Al-Hasani An-Nadwi. Sejak saat itulah beliau
mulai menghafal Alquran. Dari kecil telah tampak ruh dan semangat agama dalam
dirinya. Beliau memilki kerisauan terhadap umat, agama dan dakwah. Sehingga
Allamah Asy-Syaikh Mahmud Hasan yang dikenal sebagai Syaikhul Hind (guru besar
ilmu Hadis pada madrasah Darul Ulum Deoband) pernah mengatakan, “sesungguhnya
apabila aku melihat Maulana Ilyas aku teringat kisah perjuangan para
sahabat.”
Pada suatu ketika saudaranya, Maulana Muhammad
Yahya, pergi belajar kepada seorang alim besar dan pembaru yang ternama yakni
Syaikh Rasyid Ahmad Al-Gangohi, di desa Gangoh, Utar Pradesh, India. Maulana
Muhammad Yahya belajar membersihkan diri dan menyerap ilmu dengan bimbingan
Syaikh Rasyid. Hal ini membuat Maulana Muhammad Ilyas tertarik untuk belajar
pada Syaikh Rasyid sebagaimana kakaknya. Akhirnya Maulana Ilyas memutuskan untuk
belajar agama menyertai kakaknya di Gangoh. Akan tetapi selama tinggal dan
belajar di sana Maulana Ilyas selalu menderita sakit. Sakit ini ditanggungnya
selama bertahun-tahun lamanya. Tabib Ustadz Mahmud Ahmad putra dari Syaikh
Gangohi sendiri telah memberikan pengobatan dan perawatan pada beliau. Sakit
yang dideritanya menyebabkan kegiatan belajarnya pun menurun, akan tetapi beliau
tidak berputus asa. Banyak yang menyarankan agar beliau berhenti belajar untuk
sementara waktu, tapi beliau menjawab, “apa gunanya aku hidup jika dalam
kebodohan”.
Dengan izin Allah SWT, Maulana pun
menyelesaikan pelajaran Hadis Syarif, Jami’at Tirmidzi dan Shahih Bukhari. Dan dalam jangka waktu empat bulan
beliau sudah menyelesaikan Kutubus Sittah. Tubuhnya yang sering terserang sakit
semakin membuat beliau bersemangat dalam menuntut ilmu. Begitu pula kerisauannya
bertambah besar terhadap keadaan umat yang jauh dari syari’at Islam. Beliau akhirnya berkenalan
dengan Syaikh Khalid Ahmad As-Sharanpuri penulis kitab Bajhul Majhud Fi Hilli
Alfazhi Abi Dawud dan berguru kepadanya. Semakin bertambah ilmu yang dimiliki
membuat beliau semakin tawaddu’ serta dihormati di kalangan para ulama dan masyaikh. Suatu ketika
di Kandhla ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh ulama-ulama besar. Di
antaranya terdapat nama Syaikh Abdurrahman Ar-Raipuri, Syaikh Khalil Ahmad
As-Sharanpuri dan Syaikh Asyraf Ali At-Tanwi. Waktu itu tiba waktu shalat Ashar.
Mereka meminta Maulana Ilyas untuk mengimami shalat tersebut. Setelah kematian
kakaknya, Maulana Muhammad Yahya, pada 9 Agustus 1925, orang ramai meminta
kepada Maulana Ilyas untuk menggantikan kakaknya di Nizamuddin. Waktu itu beliau
sedang menjadi salah seorang pengajar di Madrasah Mazhahirul Ulum. Akhirnya,
setelah mendapat izin dari Maulana Khalil Ahmad dengan pertimbangan jika
tinggalnya di Nizamuddin membawa manfaat maka Maulana Ilyas diberi kesempatan
untuk berhenti mengajar.
Beliau akhirnya pergi ke Nizamuddin, ke
madarasah warisan ayahnya yang kosong akibat lama tidak dihuni. Dengan semangat
mengajar yang tinggi beliau membuka kembali madrasah tersebut. Semangat yang
tinggi untuk memajukan agama, beliau pun mendirikan Maktab di Mewat. Namun
kondisi geografis yang agraris menyebabkan masyarakatnya lebih menyukai
anak-anak mereka pergi ke kebun atau ke sawah daripada ke Madrasah atau Maktab
untuk belajar agama, membaca atau menulis. Maulana Ilyas dengan terpaksa meminta
orang Mewat untuk menyiapkan anak-anak mereka untuk belajar dengan biaya yang
ditanggung oleh Maulana sendiri. Besarnya pengorbanan Maulana hanya untuk
memajukan pendidikan agama bagi masyarakat tidak mendapatkan perhatian. Mereka
enggan menuntut ilmu dan lebih senang hidup dalam kondisi yang sudah dijalani
turun temurun. Melihat keadaan Mewat itu, semakin menambah kerisauan beliau akan
keadaan umat Islam. Kunjungan-kunjungan diadakan bahkan madrasah-madrasah banyak
didirikan, tetapi hal itu belum dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi
masyarakat Mewat. Dengan izin Allah timbullah keinginannya untuk mengirimkan
jamaah dakwah ke Mewat.
Pada tahun 1351 H/1931 M, beliau menunaikan
haji yang ketiga ke Tanah Suci Makkah. Kesempatan tersebut dipergunakan untuk
menemui tokoh-tokoh India yang ada di Arab guna mengenalkan usaha dakwah. Selama
di Makkah, jamaah bergerak setiap hari sejak pagi sampai petang, usaha dakwah
terus dilakukan untuk mengajak orang taat kepada perintah Allah. Dalam pandangan
Maulana Muhammad Ilyas, dakwah merupakan kewajiban umat Nabi Muhammad SAW. Pada
prinsipnya setiap orang yang mengaku mengikuti ajaran Nabi Muhammad memiliki
kewajiban mendakwahkan ajarannya, yaitu agar selalu taat kepada Allah dengan
cara yang telah dicontohkan Rasulullah. Sepulang dari haji, Maulana mengadakan
dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai jamaah dengan jumlah sekitar
seratus orang. Dalam kunjungan tersebut beliau selalu membentuk jamaah-jamaah
yang dikirim ke kampung-kampung untuk ber-jaulah (berkeliling dari rumah ke
rumah) guna menyampaikan pentingnya agama. Beliau sepenuhnya yakin bahwa
kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah
yang menjadi sumber kerusakan. Dari Mewat inilah secara berangsur-angsur usaha
tabligh meluas ke Delhi, United Province, Punjab, Khurja, Aligarh, Agra,
Bulandshar, Meerut, Panipat, Sonepat, Karnal, Rohtak dan daerah lainnya. Begitu
juga di bandar-bandar pelabuhan banyak jamaah yang tinggal dan terus bergerak
menuju tempat-tempat yang ditargetkan sepeti halnya daerah Asia Barat.
Terbentuknya jamaah ini adalah dengan izin Allah melalui kerisauan seorang
Maulana Muhammad Ilyas. Kemudian menyebarlah jamaah-jamaah tabligh yang membawa
misi ganda yaitu ishlah diri (perbaikan diri sendiri) dan mendakwahkan kebesaran
Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Perkembangan jamaah ini semakin hari
semakin tampak. Gerakan jamaah tidak hanya tersebar di India tetapi sedikit demi
sedikit telah menyebar ke barbagai negara. Hanya kekuasaan Allah yang dapat
memakmurkan dan membesarkan usaha ini.
Pada hari terakhir dalam sejarah hidupnya,
Maulana mengirim utusan kepada Syaikhul Hadits Maulana Zakariya, Maulana Abdul
Qodir Raipuri, dan Maulana Zafar Ahmad, bahwa beliau akan mengamanahkan
kepercayaan sebagai amir jamaah kepada sahabat-sahabatnya seperti Hafidz Maqbul
Hasan, Qozi Dawud, Mulvi Ihtisamul Hasan, Mulvi Muhammad Yusuf, Mulvi Inamul
Hasan, Mulvi Sayyid Raza Hasan. Pada saat itu terpilihlah Mulvi Muhammad Yusuf
sebagai pengganti Maulana Muhammad Ilyas dalam memimpin usaha dakwah dan
tabligh. Pada sekitar bulan Juli 1944 beliau jatuh sakit yang cukup parah.
Kondisi tubuhnya yang lemah merupakan bukti bahwa beliau bersungguh-sungguh
menghabiskan waktu mengembara dari satu tempat ke tempat lain bersama dengan
jamaah untuk mendakwahkan kebesaran Allah. Akhirnya Maulana menghembuskan nafas
terakhirnya, beliau pulang ke rahmatullah sebelum adzan Shubuh.
Beliau tidak banyak meninggalkan karya-karya
tulisan tentang kerisauannya akan keadaan umat. Buah pikiran beliau dituang
dalam lembar-lembar kertas surat yang dihimpun oleh Maulana Manzoor
Nu’mani dengan judul Aur Un Ki
Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan seluruh umat Islam yang
mengambil usaha dakwah ini.
Usaha Dakwah dan Tabligh yang sekarang telah
mendunia ini, bukanlah usaha yang muncul dengan tiba-tiba. Usaha yang pernah
membawa kejayaan umat di masa lalu ini dibangkitkan kembali melalui kerisauan,
pengkajian, pengalaman, dan pengorbanan yang mendalam dari Maulana Ilyas
Kandahlawi (rahmatullah alaih). Usaha ini dimulai di kalangan orang Meo yang
mendiami kawasan Mewat di sebelah selatan Delhi, India.
Orang-orang Meo, meskipun secara lahir banyak
yang mengaku beragama Islam, tetapi dari segi adat istiadat, ibadah dan
kebudayaan sangat jauh dari nilai-nilai Islam, bahkan sebagian besar terpengaruh
ajaran lain yang berkembang di India. Di samping merayakan hari raya Islam
mereka juga merayakan hari raya agama lain. Umumnya mereka buta huruf, berakhlak
buruk, kasar dan terkenal sebagai peminum ulung, mereka juga dikenal suka
merampok dan mencuri.
Mereka menjalani kehidupan semacam itu selama
beratus-ratus tahun, keadaan seperti ini membuat mereka tertinggal dan tersisih
dari dunia luar. Meskipun mereka hidup di dekat pusat pemerintahan Delhi, mereka
selalu dalam keadaan terasing dan terpinggirkan. Pendek kata, sifat dan tabiat
mereka mirip seperti kaum jahiliyyah di masa Nabi Muhammad SAW, di kalangan
seperti inilah Maulana Ilyas memulai gerakan dakwah.
Hubungan dengan orang Meo, sebenarnya telah
dirintis oleh Maulana Muhammad Ismail, ayahanda Maulana Ilyas sendiri, kebetulan
beliau tinggal di Basthi Nizamuddin yang merupakan jalan masuk ke Mewat.
Hubungan ini digunakan sebaik-baiknya oleh Maulana Ismail dan kemudian
dilanjutkan oleh Maulana Ilyas untuk menarik mereka kembali kepada kehidupan
agama yang sebenarnya.
Setiap ada waktu untuk bertemu, Maulana selalu
menggunakan kesempatan tersebut untuk meningkatkan pengetahuan agama dan
membiasakan mereka dengan peraturan dan rukun-rukun syariat. Keluarga Maulana
juga memelihara anak-anak Mewat dan mendidik mereka dalam madrasah dan kemudian
mengirim kembali ke Mewat untuk berdakwah. Dengan cara ini, sedikit kesadaran
mengenai pentingnya agama mulai tumbuh di kalangan mereka.
Untuk lebih menanamkan lagi pengetahuan agama
di kalangan mereka, Maulana Ilyas menyarankan agar mereka mendirikan madrasah
untuk mendidik anak-anak mereka. Setiap kali orang Meo mengundang Maulana,
pendirian Madrasah ini selalu menjadi hal yang disyaratkan oleh
Maulana.
Bagi orang Mewat, mendirikan madrasah
merupakan syarat yang yang sangat berat dan hampir merupakan hal yang mustahil,
mereka beralasan anak-anak mereka tidak dapat lagi bekerja dan berarti
mengurangi pendapatan mereka. Tetapi dengan bujuk rayu, akhirnya madrasah ini
berhasil didirikan. Maulana berkata kepada mereka, “Beri aku murid , aku akan
menyediakan uang!” Semua biaya untuk keperluan madrasah keluar dari saku beliau.
Alhamdulillah, akhirnya dalam waktu singkat, puluhan bahkan ratusan madrasah
kemudian berhasil didirikan.
Kerisauan Maulana Ilyas, tidak berhenti sampai
di situ saja. Dalam pandangan beliau, ternyata madrasah ini tidak memberi
pengaruh yang signifikan dalam usaha perbaikan agama. Madrasah tidak bebas dari
pengaruh lingkungan yang tidak mendukung, di samping itu para siswa yang telah
lulus juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk meningkatkan iman.
Pengaruh madrasah ini juga hanya terbatas
untuk anak-anak yang sebenarnya belum matang kejiwaannya, sementara orang dewasa
hampir tidak tersentuh sama sekali, padahal sebenarnya orang dewasa lah yang
paling memerlukan usaha perbaikan ini, karena mereka para pemimpin rumah tangga
yang akan mengemudikan kendali keluarga, yang merupakan unit terkecil dari
sebuah masyarakat.
Pengalaman inilah yang menyadarkan Maulana
bahwa usaha perbaikan ini tidak bisa bergantung pada perbaikan diri secara
perorangan atau membatasi hanya kepada kelas tertentu saja. Perbaikan ini harus
diusahakan ke atas masyarakat umum. Atas dasar itu lah kemudian dibentuk
jamaah-jamaah dan dikirim ke berbagai wilayah di sekitar Mewat, seperti ke
Kandhla, kampung asal Maulana Ilyas sendiri dan berbagai tempat
lainnya.
Bukan perkara yang mudah untuk untuk meminta
orang agar keluar meninggalkan rumahnya dan menangguhkan pekerjaan mereka walau
sebentar, belum lagi kesulitan di tempat mereka keluar, apakah mereka mau
menerima orang-orang Mewat yang biasa bertabiat kasar dan berkelakuan kurang
baik tersebut.
Usaha membentuk jamaah ini bukan usaha yang
mudah, usaha ini harus melalui berbagai rintangan dan jalan yang terjal. Untuk
usaha ini Maulana Ilyas telah mencurahkan segala pengorbanan yang beliau bisa
lakukan berupa waktu, pikiran, kerisauan dan harta benda beliau.
Hari ini, kita telah menerima usaha dakwah
dalam bentuk yang “jadi”. Mudah-mudahan, dengan segala mujahadah, kita dapat
melanjutkan apa yang telah dirintis oleh Maulana Ilyas dan para masyaikh
tersebut. Insyaallah
Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy lahir
pada tahun 1303 H. (1886) di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar
Prades, India. Ayahnya bernama Syaikh Ismail dan Ibunya bernama Shafiyah
Al-Hafidzah. Keluarga Maulana Muhammad Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama
dan memiliki sifat wara’. Saudaranya antara lain Maulana Muhammad yang tertua,
dan Maulana Muhammad Yahya. Sementara Maulana Muhammad Ilyas adalah anak ketiga
dari tiga bersaudara ini.[1]
Maulana Muhammad Ilyas pertama kali belajar
agama pada kakeknya Syaikh Muhammad Yahya, beliau adalah seorang guru agama pada
madrasah di kota kelahirannya. Kakeknya ini adalah seorang penganut mazhab
Hanafi dan teman dari seorang ulama dan penulis Islam terkenal, Syaikh Abul
Hasan Al-Hasani An-Nadwi yang merupakan seorang direktur pada lembaga Dar
Al-‘Ulum di Lucknow, India[2]. Ayah beliau Syaikh Muhammad Ismail adalah seorang
ruhaniawan besar yang suka menjalani hidup dengan ber’uzhlah, berkhalwat dan
beribadah, membaca Al-Qur’an dan melayani para musafir yang datang dan pergi
serta mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama.
Beliau selalu mengamalkan do’a ma’tsur dari
hadits untuk waktu dan keadaan yang berlainan. Perangainya menyukai kedamaian
dan keselamatan serta bergaul dengan manusia dengan penuh kasih sayang dan
kelembutan, tidak seorangpun meragukan dirinya. Bahkan beliau menjadi tumpuan
kepercayaan para ulama sehingga mampu membimbing berbagai tingkat kaum muslimin
yang terhalang oleh perselisihan di antara mereka. Adapun ibunda beliau Shafiyah
Al-Hafidzah adalah seoarang Hafidzah Al-Qur’an.
Istri kedua dari Syaikh Muhammad Ismail ini
selalu menghatamkan Al-Qur’an, bahkan sambil bekerjapun mulutnya senantiasa
bergerak membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang ia hafal. Maulana Muhammad
Ilyas sendiri mulai mengenal pendidikan pada sekolah Ibtidaiyah (dasar). Sejak
saat itulah beliau mulai menghafal Al-Qur’an, hal ini di sebabkan pula oleh
kebiasaan yang ada dalam keluarga Syaikh Muhammad Ismail yang kebanyakan dari
mereka adalah hafidzh Al-Qur’an.
Sehingga diriwayatkan bahwa dalam shalat
berjama’ah separuh shaff bagian depan semuanya adalah hafidzh terkecuali muazzin
saja. Sejak kecil telah tampak ruh dan semangat agama dalam dirinya, beliau
memilki kerisauan terhadap umat, agama dan dakwah. Sehingga ‘Allamah Asy-Syaikh
Mahmud Hasan yang dikenal sebagai Syaikhul Hind (guru besar ilmu hadits pada
madrasah Darul ‘Ulum Deoband) mengatakan, “sesungguhnya apabila aku melihat
Maulana Ilyas aku teringat akan kisah perjuangan para sahabat”.
Pada suatu ketika saudara tengahnya, yakni
Maulana Muhammad Yahya pergi belajar kepada seorang ‘alim besar dan pembaharu
yang ternama yakni Syaikh Rasyid Ahmad Al-Gangohi, di desa Gangoh, kawasan
Saranpur, Utar Pradesh, India. Maulana Muhammad Yahya belajar membersihkan diri
dan menyerap ilmu dengan bimbingan Syaikh Rasyid. Hal ini pula yang membuat
Maulana Muhammad Ilyas tertarik untuk belajar pada Syaikh Rasyid sebagaimana
kakanya. Akhirnya Maulana Ilyas memutuskan untuk belajar agama menyertai
kakaknya di Gangoh.
Akan tetapi selama tinggal dan belajar di sana
Maulana Ilyas selalu menderita sakit. Sakit ini ditanggungnya selama
bertahun-tahun lamanya, tabib Ustadz Mahmud Ahmad putra dari Syaikh Gangohi
sendiri telah memberikan pengobatan dan perawatan pada beliau. Sakit yang
dideritanya menyebabkan kegiatan belajarnyapun menurun, akan tetapi beliau tidak
berputus asa. Banyak yang menyarankan agar beliau berhenti belajar untuk
sementara waktu, beliau menjawab, ”apa gunanya aku hidup jika dalam
kebodohan”.
Dengan ijin Allah SWT, Maulana pun
menyelesaiakan pelajaran Hadits Syarif, Jami’at Tirmidzi dan Shahih Bukhari, dan
dalam jangka waktu empat bulan beliau sudah menyelesaikan Kutubus Sittah[3].
Tubuhnya yang kurus dan sering terserang sakit semakin membuat beliau
bersemangat dalam menuntut ilmu, begitu pula kerisauannya yang bertambah besar
terhadap keadaan umat yang jauh dari Syari’at Islam.
Ketika Syaikh Gangohi wafat pada tahun 1323 H,
beliau baru berumur dua puluh lima tahun dan merasa sangat kehilangan guru yang
paling dihormati. Hal ini membuatnya semakin taat beribadah pada Allah. Beliau
menjadi pendiam dan hanya mengerjakan ibadah, dzikir, dan banyak mengerjakan
amal-amal infiradi[4].
Maulana Muhammad Zakariya
menuliskan:
Pada waktu aku mengaji sebuah kitab kepada
beliau, aku datang padanya dengan kitab pelajaranku dan aku menunjukkan tempat
pelajaran dengan jari kepadanya. Tetapi apabila aku salah dalam membaca, maka
beliau akan memberi isyarat kepadaku dengan jarinya agar menutup kitab dan
menghentikan pelajaran. Hal itu beliau maksudkan agar aku mempelajari kembali
kitab tersebut, kemudian datang lagi pada hari berikutnya[5].
Beliau akhirnya berkenalan dengan Syaikh
Khalid Ahmad As-Sharanpuri penulis kitab Bajhul Majhud Fi Hilli Alfazhi Abi
Dawud dan akhirnya beliau berguru kepadanya. Semakin bertambah ilmu yang
dimiliki membuat beliau semakin tawaddu’. Ketawaddu’an beliau di usia mudanya
menyebabkan beliau dihormati di kalangan para Ulama dan Masyaikh. Syaikh Yahya,
kakak kandung beliau sendiri tidak pernah memperlakukan beliau sebagai anak
kecil, bahkan Syaikh Yahya sangat menghormati beliau.
Pada suatu ketika di Kandhla ada sebuah
pertemuan yang dihadiri oleh ulama-ulama besar, di antaranya terdapat nama
Syaikh Abdurrahman Ar-Raipuri, Syaikh Khalil Ahmad As-Sharanpuri, dan Syaikh
Asyraf Ali At-Tanwi. Waktu itu tiba waktu sholat Ashar, mereka meminta Maulana
Ilyas untuk mengimami sholat tersebut. Ustadz Badrul Hasan salah seorang di
antara keluarga besar tersebut berkata, “alangkah panjang dan beratnya kereta
api ini, namun alangkah ringan lokomotifnya”, kemudian salah seorang diantara
hadirin menjawab,” tetapi lokomotif yang kuat itu justru karena
ringannya”.
Akibat kematian kakaknya, Maulana Muhammad
Yahya, pada 9 Agustus 1925, beliau mengalami goncangan batin yang cukup berat.
Dua tahun setelah itu, menyusul kakaknya yang tertua, Maulana Muhammad. Beliau
meninggal di Masjid Nawab Wali, Qassab Pura dan dimakamkan di Nizamuddin.
Kematian Maulana Muhammad ini mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya.
Beribu orang menziarahi jenazahnya. Setelah dimakamkan orang ramai meminta
kepada Maulana Ilyas untuk menggantikan kakaknya di Nizamuddin padahal pada
waktu itu beliau sedang menjadi salah seorang pengajar di Madrasah Mazhahirul
‘Ulum.
Masyarakat bahkan menjanjikan dana bulanan
kepada madrasah dengan syarat agar dapat diamalkan seumur hidupnya. Pada
akhirnya, setelah mendapat ijin dari Maulana Khalil Ahmad dengan pertimbangan
jika tinggalnya di Nizamuddin membawa manfaat maka Maulana Ilyas akan diberi
kesempatan untuk berhenti mengajar. Beliau pun akhirnya pergi ke Nizamuddin, ke
madarasah warisan ayahnya yang kosong akibat lama tidak dihuni. Dengan semangat
mengajar yang tinggi beliaupun akhirnya membuka kembali madrasah
tersebut
Karena semangat yang tinggi untuk memajukan
agama, beliaupun mendirikan Maktab di Mewat, tetapi kondisi geografis yang
agraris menyebabkan masyarakatnya lebih menyukai anak-anak mereka pergi ke kebun
atau ke sawah daripada ke Madrasah atau Maktab untuk belajar agama, membaca atau
menulis. Dengan demikian Maulana Ilyas dengan terpaksa meminta orang Mewat untuk
menyiapkan anak-anak mereka untuk belajar dengan pembiayaan yang ditanggung oleh
Maulana sendiri. Besarnya pengorbanan Maulana hanya untuk memajukan pendidikan
agama bagi masyarakat Mewat tidak mendapatkan perhatian. Bahkan mereka enggan
menuntut ilmu, mereka senang hidup dalam kondisi yang sudah mereka jalani selama
bertahun-tahun turun temurun.
Beliau melihat bahwa kebodohan, kegelapan dan
sekularisme yang melanda negerinya sangat berpengaruh terhadap
madrasah-madrasah. Para murid tidak mampu menjunjung nilai-nilai agama
sebagaimana mestinya, sehingga gelombang kebodohan semakin melanda bagaikan
gelombang lautan yang melaju deras sampai ratusan mil membawa mereka hanyut.
Tetap saja masyarakat masih belum memiliki semangat agama.
Kebanyakan mereka tidak begitu berminat untuk
mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar ilmu di Madrasah. Hal ini disebabkan
mereka tidak tahu pentingnya ilmu agama, mereka pun tidak menaruh hormat pada
lulusan Madrasah yang telah memberikan penerangan dan dakwah. Orang Mewat pun
tidak mau mendengarkan apalagi mengikutinya. Kesimpulannya bahwa
Madrasah-madrasah yang ada itu tidak mampu mengubah warna dan gaya hidup
masyarakat[6].
Melihat keadaan Mewat yang sangat jahil itu
semakin menambah kerisauan beliau akan keadaan umat Islam terutama masyarakat
Mewat.
Kunjungan-kunjungan diadakan bahkan
madrasah-madrasah banyak didirikan, tetapi hal itu belum dapat mengatasi
permasalahan yang dihadapi masyarakat Mewat. Dengan ijin Allah timbullah
keinginannya untuk mengirimkan jama’ah dakwah ke Mewat. Pada tahun 1351 H/1931
M, beliau menunaikan haji yang ketiga ke tanah suci Makkah.
Kesempatan tersebut dipergunakannya untuk
menemui tokoh-tokoh India yang ada di Arab guna mengenalkan usaha dakwah dan
dengan harapan agar usaha ini dapat terus dijalankan di tanah Arab.
Keinginannya yang besar menyebabkan beliau
berkesempatan menemui Sultan Ibnu Sa’ud yang menjadi raja tanah Arab untuk
mengenalkan usaha mulia yang dibawanya. Selama di tanah Makkah Jama’ah bergerak
setiap hari sejak pagi sampai petang, usaha dakwah terus dilakukan untuk
mengajak orang taat kepada perintah Allah dan menegakkan dakwah.
Setelah pulang dari haji tersebut, Maulana
mengadakan dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai Jama’ah dengan jumlah
yang cukup besar, paling sedikit seratus orang. Bahkan di beberapa tempat jumlah
itu justru semakin membengkak. Kunjungan pertama dilakukan selama satu bulan dan
kunjungan ke dua dilakukan hanya beberapa hari saja. Dalam kunjungan tersebut
beliau selalu membentuk jama’ah-jama’ah yang dikirim ke kampung-kampung untuk
berjaulah (berkeliling dari rumah ke rumah) guna menyampaikan pentingnya
agama[7]
Beliau sepenuhnya yakin bahwa kebodohan,
kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi
sumber kerusakan. Adapun satu-satu jalan adalah membujuk orang-orang Mewat agar
keluar dari kampung halamannya untuk memperbaiki diri dan belajar agama, serta
melatih kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga tumbuh kesadarannya untuk
mencintai agama lebih daripada dunia dan mementingkan amal dari mal
(harta).
Dari Mewat inilah secara berangsur-angsur
usaha tabligh meluas ke Delhi, United Province, Punjab, Khurja, Aligarh, Agra,
Bulandshar, Meerut, Panipat, Sonepat, Karnal, Rohtak dan daerah lainnya. Begitu
juga di bandar-bandar pelabuhan banyak jama’ah yang tinggal dan terus bergerak
menuju tempat-tempat yang ditargetkan sepeti halnya daerah Asia Barat[8].
Terbentuknya jama’ah ini adalah dengan ijin Allah melalui kerisauan seorang
Maulana Muhammad Ilyas, menyebarlah jama’ah-jama’ah yang membawa misi ganda
yaitu ishlah diri (perbaikan diri sendiri) dan mendakwahkan kebesaran Allah SWT
kepada seluruh umat manusia.
Perkembangan jama’ah ini semakin hari semakin
tampak. Banyak jama’ah yang dikirim dari tempat-tempat yang dikunjungi jama’ah
pun ada yang kemudian membentuk rombongan jama’ah baru sehingga silaturrahim
antara kaum muslimin dengan muslim yang lain dapat terwujud. Gerakan jama’ah
tidak hanya tersebar di India tetapi sedikit demi sedikit telah menyebar ke
barbagai negara. Hanya kekuasaan Allah yang dapat memakmurkan dan membesarkan
usaha ini.
Kerisauan akan keadaan umat semakin bertambah,
jama’ah-jama’ah banyak dibentuk dan dikirim ke pelosok jazirah. Sehingga dengan
ijin Allah usaha ini pun semakin meluas. Maulana Muhammad Ilyas tanpa henti
terus memberi dorongan dan arahan ilmu dan pemikirannya untuk menjalankan usaha
dakwah ini agar sampai ke seluruh alam. Dalam keadaan umur yang tua renta,
Maulana terus bersemangat hingga tubuhnya yang kurus tidak mampu lagi untuk
digerakkan ketika beliau menderita sakit.
Pada hari terakhir dalam sejarah hidupnya
Maulana mengirim utusan kepada Syaikhul Hadits Maulana Zakariya, Maulana Abdul
Qodir Raipuri, dan Maulana Zafar Ahmad, bahwa beliau akan mengamanahkan
kepercayaan sebagai amir jama’ah kepada sahabat-sahabatnya seperti Hafidz Maqbul
Hasan, Qozi Dawud, Mulvi Ihtisamul Hasan, Mulvi Muhammad Yusuf, Mulvi Inamul
Hasan, Mulvi Sayyid Raza Hasan. Pada saat itu terpilihlah Mulvi Muhammad Yusuf
sebagai pengganti Maulana Muhammad Ilyas dalam memimpin usaha dakwah dan
tabligh[9].
Pada sekitar bulan Juli 1944 beliau jatuh
sakit yang cukup parah, beliau hanya berbaring di tempat tidur dengan ditemani
para pembantu dan muridnya. Kondisi tubuhnya yang telah lemah merupakan bukti
nyata bahwa beliau bersungguh-sungguh menghabiskan waktu berdakwah Khuruj Fi
Sabilillah mengembara dari satu tempat ke tempat lain bersama dengan Jama’ah
untuk mendakwahkan kebesaran Allah dan kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammad
Rasulullah.
Pada tanggal 13 Juli 1944, Maulana telah siap
untuk menempuh perjalanannya yang terakhir. Beliau bertanya kepada salah seorang
yang hadir, “apakah besok hari Kamis?”, yang di sekelilingnya menjawab,”benar”,
kemudian beliau berkata lagi, “periksalah pakaianku, apakah ada najisnya atau
tidak”, yang disekelilingnya berkata bahwa pakaian yang dikenakannya masih dalam
keadaan suci. Kemudian beliau turun dari dipan, berwudlu dan mengerjakan sholat
Isya’ dengan berjama’ah. Beliau berpesan kepada orang-orang agar memperbanyak
dzikir dan do’a pada malam itu. Beliau berkata,”yang ada di sekelilingku ini
pada hari ini hendaklah menjadi orang-orang yang dapat membedakan antara
perbuatan setan dan perbuatan malaikat Allah”.
Pada pukul 24.00 beliau pingsan dan sangat
gelisah, dokter segera dipanggil dan obat pun segera diberikan, kata-kata Allahu
Akbar terus keluar dari mulutnya ketika malam telah menjelang pagi, beliau
mencari putranya Maulana Muhammad Yusuf dan Maulana Ikromul Hasan ketika
dipertemukan beliau berkata,” kemarilah kalian, aku ingin memeluk, tidak ada
lagi waktu setelah ini, sesungguhnya aku akan pergi”. Akhirnya Maulana
menghembuskan nafas terakhirnya, beliau pulang ke rahmatullah sebelum adzan
Shubuh.
Seorang pengembara yang amat lelah yang
mungkin tidak pernah tidur dengan tenang, kini sampai ke tempat tujuannya. “Hai
jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan di
ridhai-Nya. Maka masuklah kamu kedalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam surga-Ku” (Al-Fajr, 127-128)[10].
Beliau tidak banyak meninggalkan karya-karya
tulisan tentang kerisauannya akan keadaan umat. Buah pikiran beliau dituang
dalam lembar-lembar kertas surat yang di himpun oleh Maulana Manzoor Nu’mani
dengan judul Aur Un Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan seluruh
umat Islam yang mengambil usaha dakwah ini. Karya beliau yang paling nyata
adalah bahwa beliau telah meninggalkan kerisuaan dan fikir atas umat Islam hari
ini serta metode kerja dakwahnya yang atas ijin Allah SWT telah menyebar ke
seluruh pelosok dunia. Orang-orang yang mengetahui keadaan umat, Insya Allah
akan mengambil jalan dakwah ini sebagai penawar dan obat hatinya, dan akan
menjadi sebab hadirnya hidayah bagi dirinya dan orang lain.
Prinsip dan Usaha Membangun Tradisi
Dakwah
Dakwah merupakan masalah yang paling penting
dalam mengembalikan kejayaan umat Islam. Kesan dakwah pada saat ini tidaklah
sepenting yang digariskan, dan seakan sudah tidak ada lagi dalam pikiran
orang-orang Islam yang hidup pada zaman ini. Orang-orang Islam mungkin lupa
bahwa risalah kenabian dan kerasulan telah ditutup oleh Allah SWT. Sementara
agama Islam yang menjadi jalan keselamatan harus sampai kepada generasi terakhir
umat manusia yang tidak seorangpun mengetahui kapan berakhirnya.
Sering diungkapkan dalam riwayat-riwayat
tentang penyakit umat-umat nabi terdahulu yang pada saat ini dapat kita lihat
sendiri. Maka menjadi tugas umat Islam sebagai pewaris tugas kenabian untuk
mendakwahkan agama Allah SWT hingga generasi terakhir dari peradaban
manusia.
Dalam pandangan Maulana Muhammad Ilyas dakwah
merupakan kewajiban umat Nabi Muhammad saw. Pada prinsipnya setiap orang yang
mengaku mengikuti ajaran Nabi Muhammad tentulah memiliki kewajiban mendakwahkan
ajarannya, yaitu agar selalu taat kepada Allah dengan cara yang telah
dicontohkan Rasulullah. Menjadikan dakwah sebagai maksud hidup untuk mencapai
puncak pengorbanan merupakan tujuan yang harus dicapai setiap individu pendakwah
yang mengerti kondisi umat Islam saat ini.
Sebagaimana halnya para sahabat nabi yang
dalam riwayat banyak dikisahkan tentang pengorbanan mereka terhadap agama Allah
SWT, sehingga Allah memberikan kemulian dan kesempurnaan amal agama dan
kehidupan yang tidak hanya berdimensi ibadah semata melainkan mencakup semua
bidang kehidupan berupa politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Pada awal perkembangannya yang sedemikian
terbatas, Islam mampu menguasai belahan dunia pada saat itu dengan menundukkan
Romawi dan Persi serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan ke seluruh belahan
dunia. Hal ini merupakan bukti tentang besar dan megahnya Islam dengan generasi
yang berpegang teguh pada ajarannya. Hal inilah yang dikehendaki Maulana agar
dapat terwujud kembali di kalangan umat Islam.
Maulana menghabiskan masa hidupnya untuk
berdakwah, mengajarkan prinsip dakwah yang hakiki yakni bahwa setiap diri yang
mengaku sebagai umat Islam mempunyai kewajiban dakwah, menyeru kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
Dalam salah satu suratnya yang ditujukan pada
Syaikh Muhammad Zakariya, beliau menulis:
Aku ingin agar pikiran, hari, kekuatan dan
waktuku hanya aku gunakan demi cita-citaku ini saja. Bagaimana aku dapat bekerja
selain dari kerja dakwah dan tabligh, sedangkan aku melihat ruh Nabi saw
bersedih akibat perilaku buruk umatnya, lemah agama dan aqidah, merosot dan hina
serta tidak adanya kejayaan bahkan telah lama digilas kekufuran[11].
Kerisauan yang mendalam akan keadaan umat
inilah yang menyebabkan beliau berkeinginan kuat untuk terus berdakwah mengajak
orang taat kepada Allah dan menyampaikan kebesaran Allah dengan manifestasi
menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Melalui segala macam usaha yang
dilakukan oleh beliau dengan pikiran dan kerisauan akhirnya terbentuklah
jama’ah-jama’ah yang berkeinginan mendakwahkan kembali ajaran Nabi Muhammad saw
kepada umatnya.
Membebankan kewajiban bertabligh (amar ma’ruf
nahi munkar) semata-mata pada kalangan ulama adalah sebagai tanda adanya
kebodohan pada diri kita. Tugas ulama adalah mengajarkan ilmu dan menunjukkan
jalan yang benar akan pemahaman terhadap agama. Sedangkan memerintahkan berbuat
kebajikan di antara khalayak dan mengusahakan supaya mereka menuju jalan yang
benar adalah tanggung jawab semua orang Islam[12].
Sementara Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam
tulisannya menegaskan:
Laju perjalanan umat Islam saat ini jauh
tertinggal di belakang, setelah sebelumnya berada di barisan paling depan.
Banyak sebab yang menjadikan kaum muslimin dalam kondisi seperti ini, di antara
sebab terpenting adalah ditinggalkannya kewajiban dakwah, amar ma’ruf nahi
munkar dan jihad fi sabilillah. Semua ini berangkat dari kesalahan persepsi umat
dalam memandang kewajiban ini. Masih banyak yang memahami bahwa dakwah adalah
kewajiban ulama saja, terbatas dalam bentuk ceramah, khutbah dan mau’idzhoh
saja.Sementara itu, sebagian dari mereka ada yang memahami dakwah ini merupakan
kewajiban yang berlaku atas setiap individu muslim, namun mereka melakukannya
tanpa disertai pemahan yang baik terhadap manhaj dakwah nabawiyah dan
rambu-rambu Al-Qur’an[13].
Jauh sebelum itu Maulana Muhammad Ilyas telah
memikirkan keadaan ini, sehingga keinginannya yang telah bersatu dengan
kerisauannya akan kondisi umat Islam yang dilihatnya, membuatnya mencurahkan
hidupnya untuk kerja dakwah. Bahkan Maulana Muhammad Ilyas mulai membangun
tradisi dakwah yang ia mulai dengan membentuk jama’ah-jama’ah dakwah yang
dikirim ke tempat-tempat tertentu, bahkan dipimpin langsung oleh beliau. Dengan
tenaga dan kerisauan yang ada beliau berusaha mengenalkan kewajiban dakwah pada
umat Islam dan membangun tradisi tersebut agar semua dapat melaksanakan jalan
dakwah ini.
Membangun tradisi dakwah diantara kondisi umat
yang jauh dari agama, seperti di Mewat tidaklah semudah yang dibayangkan. Dalam
keadaan yang penuh dengan kesesatan dan kejahilan masyarakat, Maulana Muhammad
Ilyas terpanggil untuk mengajak mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Terlebih lagi masyarakat yang masih kuat memegang syariat agama. Beliau sangat
menyadari bahwa Rasulullah bukanlah orang yang mementingkan diri sendiri, beliau
selalu memikirkan umatnya, merisaukan keadaan umatnya di kemudian
hari.
Sehingga dalam riwayat di beritakan bahwa
ketika ajal beliau datang, dengan terbata-bata masih menyebut umatnya. Pikiran
itulah yang selalu muncul dalam benak Maulana, bahwa dakwah hari ini adalah
bagaimana mengajak umat kembali kepada jalan Allah dan Rasulnya.
Berdasarkan pengalaman dan pemikiran yang
panjang, Maulana melihat bahwa para petani Mewat yang miskin tidak mungkin dapat
meluangkan waktunya untuk belajar agama, sedangkan mereka masih berada di
tengah-tengah lingkungan dengan segala kesibukannya. Bahkan dalam jangka waktu
yang pendek yang dapat mereka berikan itu, tidak dapat diharapkan agar mereka
dapat memperoleh kesan yang dalam dari ajaran-ajaran agama yang telah mereka
peroleh, serta memiliki semangat agama sebagaimana yang diharapkan yang dapat
mengubah cara hidup mereka.
Sesungguhnya tidak mungkin meminta mereka
semuanya untuk ke madrasah. Namun juga tidak tepat berangan-angan bahwa hanya
dengan sekedar nasihat dan ceramah akan mengubah kehidupan mereka dari cara-cara
jahiliyah kepada cara-cara Islam, baik dalam perangai, tradisi, maupun pola
pikir[14].
Peran Maulana Muhammad Ilyas dalam
menggerakkan masyarakat Mewat yanjahiliyah itu menyebabkan tumbuhnya suasana
agama yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Suasana agama inilah yang
diperlukan guna menstimulasi berkembangnya masyarakat yang Islami yang mengikuti
kehidupan rasul dan para sahabat. Jama’ah-jama’ah dari masyarakat pun dibentuk
untuk dikirim ke beberapa tempat agar dapat memperbaiki diri dalam suasana
agama, dengan perbekalan seadanya dan semangat untuk menyebarkan dan
mensuasanakan agama.
Datangnya Ramadhan dan cahayanya telah
menyinari hati manusia, Maulana Ilyas pun meminta para sahabatnya agar
menyiapkan jama’ah untuk dikirim ke Kandhla. Padahal mereka tahu bahwa Kandhla
merupakan pusat ilmu dan banyak terdapat rohaniawan. Tentu saja mereka
berkeberatan untuk menyampaikan seruan agama tersebut. Apalagi jama’ah itu
adalah orang-orang yang bodoh, sungguh ini merupakan suatu yang aneh. Namun
akhirnya terbentuklah jama’ah yang terdiri dari sepuluh orang Mewat yang
dipimpin oleh Hafidzh Maqbul Hasan. Jama’ah ini bertolak dari Delhi menuju ke
Kandhla setelah hari raya. Jama’ah mendapatkan sambutan yang
menyenangkan[15].
Jama’ah pertama yang dikirim menyebabkan
bertambahnya semangat beliau dalam membangun tradisi dakwah di kalangan
masyarakat. Daerah-daerah lain pun mulai dipikirkannya. Gerak jama’ah sangat
penting artinya bagi upaya mengubah pola hidup masyarakat. Bagaimanapun
keadaannya, beliau tetap berharap dapat mengirimkan jama’ah-jama’ah serupa ke
berbagai tempat lainnya. Jama’ah kedua dikirim ke Raipur, kemudian mengadakan
ijtima’ (berkumpul bersama) di Chatora hingga terbentuk jama’ah lagi hingga
dikirim ke Sonepar, Panipat, dan daerah sekitarnya. Begitulah perkembangan yang
terjadi di daerah Mewat dan sekitarnya.
Beliau sepenuhnya meyakini bahwa kebodohan,
kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi
sumber kerusakan. Adapun satu-satunya jalan keluar adalah membujuk orang-orang
Mewat supaya keluar (dari kampung halamannya) guna memperbaiki diri, belajar
agama, dan melatih kebiasaan yang baik hingga tumbuh kesadarannya untuk lebih
mencintai agama daripada dunia, dan mementingkan amal daripada mal
(harta)[16].
Maulana bercita-cita mewujudkan satu generasi
yang benar-benar mau berkorban untuk agama, seperti berkorbannya para sahabat
dahulu. Jika sehari-hari mereka berkorban waktu, harta, dan diri mereka untuk
keduniaan, maka mereka pun harus berusaha untuk berkorban dengan diri, harta dan
waktu mereka untuk agama. Menjadi hal yang biasa bahwa segala sesuatu yang
diperoleh melalui pengorbanan akan sangat dicintai.
Lambat laun suasana di Mewat semakin berubah.
Bahkan perubahan tersebut makin tampak pada cara hidup dan tradisi mereka. Mewat
menjadi tanah gembur dan subur yang apabila tanaman dakwah Islamiyah dan
pengajaran hukum-hukum agama ditanamkan akan tumbuh, berkembang dan berbuah di
tempat tersebut[17]. Perkembangan yang terjadi di Mewat adalah perkembangan yang
mengesankan, Mewat yang pada mulanya dilingkupi jahiliyah kini telah berubah
menjadi pusat dakwah dan siar agama.
Usaha Maulana Muhammad Ilyas yang pertama
adalah menanamkan iman dan keyakinan yang benar terhadap Allah SWT dengan cara
yang telah dicontohkan Rasulullah. Kemudian beliau menyampaikan
keutamaan-keutamaan beramal dan kerugian meninggalkannya serta mengajak umat
Islam untuk berkorban menyisihkan diri, harta dan waktunya di jalan
Allah.
Sampai akhir hayatnya beliau tetap mencurahkan
perhatiannya pada usaha dakwah ini. Bahkan setelah berkembang di India, usaha
dakwah ini berkembang ke seluruh dunia. Hingga saat ini negara-negara di
beberapa berlahan benua telah memiliki amal jama’ah dakwah. Mereka terus
bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mengajak manusia kembali
kepada tugas utama sebagai hamba Allah yang sudah seharusnya mengabdi dengan
segenap jiwa dan raga serta sebagai umat Nabi yang terakhir Muhammad saw yang
mempunyai tugas dakwah beramar ma’ruf nahi munkar.
Footnotes:
——————————————————————————–
[1]Riwayat Hidup maulana Muhammad Ilyas
diambil dari buku karangan Sayyid Abul Hasan Ali-Nadwi, (1999), Riwayat Hidup
Dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, Yogyakarta: Ash-Shaff, hlm.
5-18
[2]lihat, H.A. Hafizh Dasuki (et al), (1993),
Ensiklopedi Islam Vol. S1-1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm.
266
[3]Kutubus Sittah berarti kitab yang enam
yaitu kitab-kitab hadits yang telah dijadikan standar para ulama dan kaum
muslimin untuk menjadi hujjah bagi persoalan-persoalan agama diantaranya adalah
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, dan
Sunan Ibnu Majjah.
[4]Infiradi berasal dari kata faroda yang
dalam bahasa arab berarti sendiri, yang dimaksudkan adalah beramal secara
sendiri atau tidak berjama’ah
[5]Sayyid Abul Hasan Ali Nadwi, op. cit., hlm.
14
[6]Sayyid Abul Hasan Ali An-Nadwi, op. cit.,
hlm. 39-40
[7]Ibid, hlm. 43-44
[8]Tutus Hendrato, op. cit., hlm.
22-23
[9]Ibid, hlm. 24
[10]Sayyid Abul hasan Ali- Nadwi, op. cit.,
hlm. 127-128
[11]Ibid, hlm. 145
[12]Maulana Ihtisamul Hasan Kandhalawi,
(1998), Keruntuhan Umat Islam Dan Cara Mengatasinya, Yogyakarta: Ash-Shaff, hlm.
23
[13]Sayyid Muhammad Nuh, (1996), Dakwah
Fardiyah, Dalam Manhaj Amal Islami, Solo: Citra Islami Press, hlm. 9
[14]Sayyid Abul Hasan Ali-Nadwi, loc. cit.,
hlm 44
[15]Ibid, hlm. 47
[16] Sayyid Abul Hasan Ali-Nadwi, op. cit.,
45-46
[17]Ibid, hlm. 51