851. Dzun Nun al-Mishri rahimahullah berkata:
“Dahulu para ulama saling menasihati dengan tiga hal: Barangsiapa memperbagus
keadaan batinnya, Allah akan memperbagus lahiriahnya; barangsiapa memperbaiki
hubungan dengan Allah, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia dan
barangsiapa yang memperbaiki urusan akhiratnya, Allah akan memperbaiki urusan
dunianya.” (as-Siyar, 19/141)
852. Abu Usamah Al-Khuza’i berkata: “Imam
Malik jika ingin keluar untuk menyampaikan hadits ia berwudhu sebagaimana wudhu
untuk melaksanakan sholat dan memakai pakaiannya yang paling indah, memakai
kopiah beliau dan menyisir (merapikan) jenggot beliau. Beliau ditanya tentang
sikapnya itu maka kata beliau, “Aku mengagungkan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan berbuat demikian.” ([Al-Jami’, 2/34)
853. Hammad bin Salamah berkata: “Kami sedang
bersama Ayyub lalu kami mendengar suara (keras namun tidak jelas), maka Ayyub
berkata, “Suara apa ini?, apakah kalian tidak tahu bahwasanya mengangkat suara
tatkala hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disampaikan (dibacakan)
seperti mengangkat suara dihadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ia
masih hidup?” (Al-Jami’: 1/128, 130)
854. “Muhammad bin Sirin berbicara dan
tertawa, namun jika datang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka
iapun dalam keadaan khusyu.” (Al-Jami’, 2/57)
855. Ibnu Abi Az-Zinad berkata: “Said ibn
Al-Musayyib tatkala beliau sakit beliau berkata, “Dudukkan aku, aku merasa berat
untuk menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
berbaring.” (Al-Jami’: 2/34, Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadhlihi: 2/1220)
856. Berkata Ishaq: “Aku melihat Al-A’masy
jika dia hendak menyampaikan hadits dan dia dalam keadaan tidak berwudhu maka
dia bertayammum.” (Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadhlihi: 2/1217, syarh As-Syifa:
2/77)
857. ‘Amr bin Maimun berkata: “Aku bolak-balik
mendatangi Ibnu Mas’ud selama setahun, dan tidaklah aku pernah mendengarnya
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda” kecuali pada
suatu hari ia menyampaikan hadits dan keluar dari lisannya perkataan “Rasulullah
telah bersabda”, kemudian menimpa beliau ketakutan hingga aku melihat keringat
keluar dari keningnya kemudian ia berakata, هكذا إن شاء الله، أو فوق ذا، أَو مَا دون ذا “Seperti ini insya Allah, atau kurang
lebih seperti ini (lafal haditsnya sebagaimana yang disabdakan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam) kemudian mengembang kedua pipi beliau, berubah
masam wajahnya dan kedua matanya berlinang air mata.” (Al-Jami’ Li Akhlaqi
Ar-Rawi wa Adabis Sami’: 2/66-67, As-Syifa bita’rifi huquqil Musthofa:
2/599)
858. Abdurrahman bin Qosim pernah menyebutkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka pucatlah wajahnya seakan-akan telah
kering darah dari wajahnya. Lidahnya kering di mulutnya karena pengagunggannya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku (Mush’ab bin Abdillah) pernah
mendatangi ‘Amir bin Abdillah, jika disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam di hadapannya maka diapun menangis hingga kering air matanya” Dan aku
telah melihat Imam Az-Zuhri –dan dia adalah orang yang paling dermawan dan
paling dekat dengan manusia-, jika disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
di sisinya maka seakan-akan engkau tidak mengenalnya dan dia tidak mengenalmu.
Dan aku pernah mendatangi Sofwan bin Sulaim –dan dia adalah termasuk ahli ibadah
dan kesungguhan-, jika disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
hadapannya maka iapun menangis hingga orang-orang pergi meninggalkaannya.”
(As-Syifa bita’rifi huquqil Musthofa, hal.598)
859. Ahmad bin Sulaiman Al-Qotton berkata:
“Tidak ada yang berbicara di majelis penyampaian hadits Abdurrahman bin Mahdi,
dan tidak ada yang meruncing alat tulisnya, dan tidak seorangpun yang tersenyum.
Jika ada yang berbicara atau meruncing alat tulisnya di majelisnya maka iapun
berteriak dan memakai kedua sendalnya lalu masuk dalam rumahnya (tidak jadi
menyampaikan hadits). Demikian juga yang dilakukan oleh Ibnu Numair, dan dia
adalah termasuk orang yang paling tegas dalam perkara ini. Waki’ juga demikian,
orang-orang yang berada di majelisnya seakan-akan mereka sedang melaksanakan
sholat. Jika ia mengingkari suatu perkara yang dilakukan diantara mereka maka
iapun memakai sendalnya lalu masuk dalam rumahnya. Ibnu Numair marah dan
berteriak, dan jika ia melihat ada yang meruncing alat tulisnya maka berubahlah
wajahnya.” (Al-Jami’: 1/128, 130)
860. Rumah dalam kegelapan, tidak dapat
bezakan antara ular dengan tali. - Tamthil
861. Seseorang yang menggabungkan amal dan
asbab di dalam yakinnya tidak akan mendapat kemanisan dan khusyu' di dalam
beramal. - Maulana Muhammad Yusuf rah.a
862. Mufti Maulana Muhammad Ahmad Bahawalpuri
menasihatkan kepada pekerja agama: “Masjid adalah satu perkara dan amalan masjid
nabawi pun adalah satu perkara, yakni masing-masingnya adalah dua perkara yang
berlainan. Tetapi bila disatukan, iaitu apabila zahir bentuk masjid dimakmurkan
manusia dan serentak dengannya amalan-amalan masjid nabawi juga dihidupkan maka
hasilnya adalah Allah kurniakan hidayahNya. Inilah tertib untuk hasilkan hidayah
Allah SWT. Sebaliknya tapi jika dua perkara ini terpisah dan tidak dihidupkan,
hidayah daripada Allah akan tersekat sama sekali.”
863. Mufti Maulana Muhammad Ahmad Bahawalpuri
menasihatkan kepada pekerja agama: “Kesyumulan agama, dalam sahabah adalah 100%
tahap sepertimana yang telah ditinggalkan oleh Nabi SAW. Disebalik semua ini,
adalah sebenarnya datang daripada hasil usaha agama yang dibawa Nabi SAW.
Seluruh sahabah telah datang kepada usaha agama Nabi SAW iaitu amalan masjid
nabawi. Apakah itu usaha agama? usaha agama adalah satu usaha untuk menghidupkan
kembali amalan masjid nabawi, hubungkan manusia dan masjid dengan amalan dakwah,
taklim, ibadat dan khidmat, cara Nabi SAW. Maka hasil daripada usaha agama,
amalan agama yang sempurna akan datang dalam kehidupan kamu.”
864. Lingkungan lima tertib usaha agama: 1.
Buat dengan yakin yang betul (ehsan, yakin). 2. Usaha cara Nabi SAW (tariqah dan
ilmu, pengendalian alim ulama). 3. Penuh pengorbanan (dugaan dan ujian,
mujahadah nafs). 4. Berterusan tanpa cuti (istiqamah ikhlas dan istiqlas) dan 5.
Banyak alirkan air mata dengan berdoa (ibadah dan dzikir).
865. Mufti Maulana Muhammad Ahmad Bahawalpuri
menasihatkan kepada pekerja agama tentang maksud keluar di jalan Allah: “Jadi
kamu di sini, kena faham bahawa masa yang diluangkan, negara, keluarga dan
pekerjaan yang kamu telah tinggalkan sekarang ini adalah satu perkara besar
kerana kamu telah buat pengorbanan. Maka pengorbanan ini sebenarnya adalah untuk
belajar, bagaimana tahap kehidupan dan tahap agama kamu akan menjadi sepertimana
yang ada pada sahabah iaitu tingkat agama dan kehidupan sesyumul zaman Nabi
SAW..”
866. Berkata Abu Bakr Ash-Shiddiq: “Tidaklah
aku meninggalkan sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam kecuali aku melakukannya dan sesungguhnya aku benar-benar takut kalau aku
meninggalkan sedikit saja dari perintah beliau maka aku akan menyimpang.”
(Al-Ibaanah, Ibnu Baththah 1/246, Ta'zhiimus Sunnah hal.24)
867. Abu Bakar Ash Shiddiq r.a berkata: “Demi
Allah, jika mereka hanya membayar zakat unta tanpa talinya, tidak dengan
keduanya sebagaimana mereka membayarkannya pada zaman Rasulullah sallahu 'alaihi
wasallam, kemudian pohon, tanah, jin dan manusia membantu mereka, niscaya aku
akan berjihad atas mereka hingga rohku kembali kepada Allah. Sesungguhnya Allah
tidak memisahkan antara shalat dan zakat, kemudian menyatukannya lagi.” (fii
Kanzul Ummal, 3/142)
868. Imam adz-Dzahabi rahimahullah menukilkan:
“Tidak ada yang berkata-kata (berbual) dalam majlis ilmu 'Abdurrahman B. Mahdi
rahimahullah, tidak ada pula yang sibuk mengasah pensil, tiada seorang pun yang
tersenyum, dan tidak ada seorang pun yang berdiri. Seolah-olah di atas kepala
mereka ada burung atau seolah-olah mereka sedang solat (kerana terlalu tekun).
Jika beliau melihat salah seorang di antara mereka tersenyum atau berbual-bual,
maka beliau segera memakai seliparnya lalu beredar keluar.” (Siyar A’lam
an-Nubala’, 9/202-203. Tazkiratul Huffaz, 1/242, no. 313)
869. “The work of da'wah is the greater
jihad.” - Hazrat Maulana Yusuf Binori r.alayhi
870. “The tablighi jama'at gave Darul Ulum
(Deoband) a Mufti. The Darul Ulum needed a Mufti, so they requested the tablighi
jama'at who gave them a Mufti as I am first a tablighi then a Mufti.” - Hazrat
Mufti Mahmud Hassan Gangohi r.alayhi
871. “Molvi Ilyas has changed 'yas'
(despondency) into 'as' (hope). This is the original effort.” - Hakimul Ummah
Hazrat Maulana Ashraf Ali Thanwi r.alayhi
872. “Dear brothers! This is a tablighi
gathering and this tabligh was originally the practice of Rasulullah s.a.w. The
work you are doing is therefore not insignificant. I give you the glad tidings
that Allah has granted you the opportunity to carry out a great service.” -
Sheikhul Islam Hazrat Maulana Husain Ahmad Madani r.alayhi
873. “There are four ways of attaining self
reformation and by good chance, they all happen to be found in the tablighi
jama'at. It includes sitting in the company of the pious, it includes dzikr and
fikr, it includes brotherhood for the pleasure of Allah, it includes taking
lessons from enemies and also taking account of oneself. The tablighi jama'at is
a conglomeration of the four. For an average person there can be no way better
than this for attaining self-reformation.” - Hazrat Maulana Qari Muhammad Tayyib
r.alayhi
874. Berkata Imam Abu `Abdillah Muhammad bin
Ismail al-Bukhari: “Hargailah masa lapang kamu, kerana mati kamu mungkin datang
tanpa diduga. Ramai manusia sihat yang aku lihat bebas daripada penyakit, tetapi
nyawa mereka terpisah daripada badan tanpa diduga.” (Sirah al-Imam al-Bukhari, Salahuddin
`Ali `Abdul Maujud)
875. Berkata Imam Syafii Rahimahullah: “Tidak
semua angan-angan dan cita-cita manusia terkabulkan sebagaimana tidak
diharapkannya badai oleh banyak kapal.” (Diwan, Hal.8)
876. “Sesungguhnya di antara balasan amalan
kebaikan adalah kebaikan selanjutnya. Dan di antara balasan dari amalan
kejahatan adalah kejahatan selanjutnya.” (Tafsir surah Al Lail Al Qur’an Al
‘Azhim, Ibnu Katsir)
877. Al Qurthubi rahimahullah mengatakan:
“Sifat yang disebutkan dalam (Al Fajr ayat 15-16) adalah sifat orang kafir yang
tidak beriman pada hari berbangkit. Sesungguhnya kemuliaan yang dianggap orang
kafir adalah dilihat pada banyak atau sedikitnya harta. Sedangkan orang mukmin,
kemuliaan menurutnya adalah dilihat pada ketaatan pada Allah dan bagaimana ia
menggunakan segala nikmat untuk tujuan akhirat. Jika Allah memberi rizki baginya
di dunia, ia pun memuji Allah dan bersyukur pada-Nya.” (Al Jaami’ li Ahkamil
Qur’an)
878. Ath Thobari rahimahullah menjelaskan
surah Al Fajr ayat 15-16): “Adapun manusia ketika ia diuji oleh Rabbnya dengan
diberi nikmat dan kekayaan, yaitu dimuliakan dengan harta dan kemuliaan serta
diberi nikmat yang melimpah, ia pun katakan, “Allah benar-benar telah
memuliakanku.” Ia pun bergembira dan senang, lantas ia katakan, “Rabbku telah
memuliakanku dengan karunia ini. Adapun manusia jika ia ditimpa musibah oleh
Rabbnya dengan disempitkan rizki, yaitu rizkinya tidak begitu banyak, maka ia
pun katakan bahwa Rabbnya telah menghinakan atau merendahkannya. Sehingga ia pun
tidak bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa keselamatan anggota badan
dan rizki berupa nikmat sehat pada jasadnya.” (Tafsir Ath Thobari)
879. Berkata Imam Ibnu Rajab Rahimahullah:
“Dunia ini seluruhnya adalah bulan puasa bagi orang-orang yang bertakwa,
sedangkan hari rayanya adalah hari pertemuan dengan Rabb-Nya. Dan sesungguhnya
sebagian besar waktu siang untuk puasa telah lewat, sedangkan hari raya
pertemuan dengan Rabb-Nya telah dekat.” (Lathaif Al-Ma’arif)
880. Imam Qatadah rah (Wafat: 118H) berkata:
“Sesungguhnya Allah Swt tidak menyukai adanya perpecahan terhadap kamu. Allah
telah menjelaskannya kepada kamu, memberi peringatan tentang perpecahan, dan
melarang kamu dari terlibat dengannya. Sebaliknya Allah meredhai bagi kamu
kepatuhan, ketaatan, perpaduan, dan al-jama’ah. Oleh sebab itu, redhailah untuk
diri kamu sedaya-upaya apa sahaja yang telah Allah redhai bagi kamu. Bahawasanya
tiada kekuatan melainkan dengan izin Allah.” (Tafsir ath-Thabari,
7/74)
881. Umar Ibn al-Khaththab berkata: “Kekayaan
dan kefaqiran adalah dua tunggangan, aku tidak peduli yang mana dari keduanya
yang aku tunggangi.” (Majmu' al-Fatawa, vol. XI, hal. 123)
882. Imam al-Munawi berkata: “Berapa banyak
orang kaya yang kekayaannya tersebut tidak menyibukkan dan melalaikannya dari
Allah, sementara berapa banyak orang fakir yang kefakirannya menyibukkan dan
melalaikannya dari Allah.” (Faidhu’l Qadir, vol. II, hal. 288)
883. “Seseorang terkadang dikaruniai kecerdasan. Namun, dia tidak
dikaruniai keshalehan.” (Syarah Matan al-Waraqaat Fii Ushuul al-Fiqhi: 3/19,
Syaikh Abdul Karim al-Khudair)
884. Imam Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H)
dalam mukaddimah kitabnya Iqtidha’ Al Ilmi Al Amal berkata: “Yang paling memprihatinkan adalah
seorang ahli ilmu yang ditinggalkan manusia karena keburukan akhlaknya, atau
seorang bodoh yang diikuti manusia karena banyak ibadahnya.”
885. Dalam sebuah syair dikatakan:
“Berbuat baiklah kepada
manusia niscaya engkau akan mendapatkan hati mereka, Betapa sering perbuatan
baik itu dapat menundukkan manusia.”
886. Keinginan-keinginan terhadap dunia
seperti gelombang-gelombang ombak yang berterusan dan bersilih ganti. -
Tamthil
887. Maulana Sa'ad Damat Barakatuhu Katakan,
Bahwasanya Sunah Da'wah Nabi SAW ada 3; 1. Da'wah secara umumiyat, 2. Terjun
kesetiap lapisan masyarakat dan 3. Sabar dan Tahammul dalam menerima setiap
ujian. (Musy. Indonesia di Nizamuddin Okt 2011)";
888. Dari Abu Darda' Radhiyallaahu 'anhu
mengatakan: “Tanda kebodohan
itu ada tiga: 1. Mengagumi
diri sendiri, 2. Banyak bicara dalam hal yang tidak bermanfaat dan 3. Melarang
sesuatu namun melanggarnya.” (Jami' Bayan Al-'Ilmi wa Fadhlih, I/143)
889. “The effort of tabligh is like rain,
which reaches every area whether people like it or not. Without asking
renumeration from people, it pours over the rivers and oceans just as it falls
on mountains, rocky grounds and salt flats. It is according to the potential of
the ground that it either derives benefit from the rain or is deprived. The rain
water then collects in the dams and watering holes from which humans and animals
derive benefit for a long time. It is with this water that fields are irrigated
and crops grown. Had it not been for the rain, even dams and wells would run
dry..” - Hazrath Mufti Mahmood Saab Rahmatullah ‘Alaih
890. Imam Adz-Dzahabi menceritakan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
pernah dalam sebuah majelis mendapatkan 30.000 dinar. Tapi dalam bulan
berikutnya ia tidak memakan sepotong dagingpun, itu semua karena hartanya habis
diinfakkan. (Siyar A’lam An-Nubala': 3/128)
891. Seorang ulama terkenal bernama Laits bin Saad, beliau mendapatkan
gaji 20.000 dinar setiap tahun. Ia berkata : “Meski hartaku sebanyak ini, aku
tidak pernah terkena zakat.” (Tarikh Baghdad : 13/80). Hal ini karena harta
beliau digunakan untuk berinfak di jalan Allah dan habis sebelum satu tahun,
sehingga ia tidak pernah terkena kewajiban zakat."
892. Abu Hazim mengatakan: “Aku tidak pernah
berkomentar tentang ulama, kecuali yang baik. Saya menjumpai para ulama, dan
mereka merasa kaya dengan ilmunya sehingga tidak butuh orang yang kaya dunia.
Sementara orang yang kaya dunia tidak merasa kaya dengan dunia mereka, sehingga
tetap butuh ilmu ulama.” (Al-Madkhal ilas sunan al-Baihaqi, 456)
893. Abdullah bin al-Mu’taz rahimahullah
berkata: “Ilmu seorang munafik itu terletak pada ucapannya, sedangkan ilmunya
seorang mukmin terletak pada amalnya.” (Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal.
44-45)
894. Sufyan ats-Tsauri rahimahullah pernah
ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?” Maka beliau
menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan kau
tinggalkan menuntut ilmu dengan alasan beramal, dan jangan kau tinggalkan amal
dengan alasan menuntut ilmu.” (Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45)
895. Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah
berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasihati kalian, dan bukan
berarti aku orang yang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling
shalih di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap
diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna,tidak pula membawanya
sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya.Andaikata seorang muslim tidak
memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang
sempurna,niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat.” (Mawai’zh lilImam
Al-Hasan Al-Bashri, hal.185)
896. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah
berkata: “Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan
disibukkan dengan hal-hal yang batil.” (Al Jawabul Kaafi, hal 156)
897. Hazrat Maulana Yusuf rah used to say:
“The object of the work is not merely to cause a few branches or selected
aspects of Deen to spread, but the actual object of the work is that the entire
Deen of Muhammad saw. and the practices of the Sahabah ra. are revived and
flourish.”
898. Hadhrat Mufti Azeezur Rahmaan Bijnori
writes: “Hadhrat Moulana Mohammed Yusuf Sahib began teaching while he was a
student. This remained his beloved occupation until the end of his life. He
spent the time which remained after lecturing, supervising the movement of
Jamaats and writing and teaching students. Once I complained to him that I was
tired of teaching. I wished to place my responsibility of teaching on some
capable person so that I could proceed in the path of Allah for a few days. On
this he said, “Never ever. Before Tabligh you should teach and after Tabligh
also you should teach. People say that we are against the running of madaaris.
This is an error on their part. We regard teaching as one of the fundamental
duties. Our involvement in teaching proves this. We wish involvement in teaching
to be combined with Tabligh.” (Biography of Hadhrat Moulana Muhammad Yusuf Sahib
– Amire Tabligh, pg.77)
899. “Understand that Ta’leem (Tadrees),
Tabligh, Tasawwuf are all the works of Nubbuwwat. Only a foolish person will
consider one aspect of Nubuwwat in conflict to another aspect of the work of
Nubuwwat. In my opinion, I do not see any one more foolish and ignorant than
this (it is the height of ignorance). (Maulana Muhammad Saad DB)
900. “Allaah, the Merciful, has provided a
simple method. It is to go out in the path of Allaah, not primarily to reform
others but to change one’s own direction from the world to the Aakhirah, from
the created things to the Creator of things, from materialism to spiritualism.
Once the focus changes, the person knows what he has been created for, then the
enthusiasm to seek Ilm, will automatically develop. Now we will have Muslim
doctors, teachers, engineers and business men who will lead Islaamic lives. Deen
will become alive in the surgery, class room, office and factory.” (Moulana
Mufti Afzal Elias)