251. “Hati yang istiqamah adalah hati yang
senantiasa lurus dalam ketaatan kepada Allah, baik berupa keyakinan, perkataan,
maupun perbuatan.” (Imam al-Qurtubi rhm)
252. Umar bin Abdul Aziz ketika berkhutbah
pada hari raya ‘Idul Fithri berkata: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya
kalian telah berpuasa kerana Allah selama 30 hari, kalian juga solat malam
selama 30 hari, dan pada hari ini kalian semua keluar untuk memohon kepada Allah
agar amalan kalian diterima. Ketahuilah, dulu sebagian salafus soleh menampakkan
kesedihan pada hari raya ‘Idul Fithri, kemudian ditanyakan padanya: ‘Bukankah
hari ini hari kegembiraan dan kebahagiaan?’. Maka dia menjawab: ‘Benar, namun
aku hanyalah seorang hamba yang Allah memerintahkanku untuk beramal, akan tetapi
aku tidak mengetahui apakah amalku (selama Ramadhan) diterima Allah atau
tidak?”. (Latha’if al-Ma’arif: 376)
253. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Ikhlas dan tauhid ibarat sebatang pokok dalam hati manusia, cabangnya adalah
amal perbuatan (yang mulia), sedang buahnya adalah kehidupan yang bahagia di
dunia dan kenikmatan yang abadi di akhirat. Sedangkan syirik, dusta, dan riya'
adalah juga ibarat pokok di dalam hati manusia. Buahnya di dunia ini adalah rasa
takut, gelisah, hati yang sempit dan gelapnya hati. Sedangkan buahnya di akhirat
adalah zaqqum (nama makanan ahli neraka) dan azab yang abadi. (Bada’iul Fawa’id:
214)
254. Bakar bin Abdillah al-Muzani berkata:
“Jika kamu melihat orang yang lebih tua, katakanlah: ‘Orang ini lebih dulu
mendahuluiku dalam beriman dan beramal soleh, maka ia lebih baik dariku’.
Apabila kamu melihat orang yang lebih muda, katakanlah: ‘Aku telah mendahuluinya
dalam berbuat dosa dan maksiat, maka dia lebih baik dariku’. Dan jika engkau
melihat sahabat-sahabatmu menghormati dan memuliakanmu, maka katakanlah: ‘Ini
adalah keutamaan yang akan dihisab nantinya’. Sedangkan apabila engkau melihat
sahabat-sahabatmu tidak menghormatimu, maka katakanlah: ‘Ini akibat dosa yang
telah aku lakukan’.” (Shifatush Shafwah: 3/248)
255. Sufyan ats-Tsauri berkata: “Pelajarilah
ilmu dan jagalah kehormatannya. Janganlah engkau campur baurkan ia dengan
hal-hal yang bersifat senda gurau sehingga hati manusia akan mengingkarinya.
Jagalah itu semua agar manusia bersikap hormat kepadanya.” (Shaidul Khatir, Imam
Ibnu Al-Jauziy)
256. Hindarkan maksiat dan derhaka, kerana
maksiat menghapuskan pahala sujudmu dan mengeluarkanmu daripada ketenteraman.
Maksiat adalah kenikmatan sesaat yang membuahkan penderitaan seribu tahun.
(Al-Fawaid, Imam Ibn Qayyim Al-Jawziyyah)
257. Hasan al-Bashri berkata: “Diantara tanda
berpalingnya Allah dari seorang hamba adalah Dia akan menjadikan hamba tersebut
sibuk dalam perkara yang tidak bermanfaat sebagai bentuk penghinaan baginya.”
(Jami’ul Ulum wal Hikam: 1/294)
258. Ali bin Al-Hasan berkata: “Aku hairan
dengan orang yang sombong dan suka membanggakan diri, padahal kemarin dia
hanyalah setitis mani dan esok ia menjadi bangkai. Aku juga sangat hairan dengan
orang yang bertungkus lumus bekerja untuk dunia yang sementara, tetapi lalai
bekerja untuk akhirat yang kekal selamanya.” (Shifatush Shafwah:
2/95)
259. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata:
“Apabila perkataan tidak senonoh keluar daripada mulut musuhmu, janganlah kamu
membalasnya dengan perkataan yang sama. Sesungguhnya mewariskan permusuhan
adalah warisan yang tercela.” (Al-Fawaaid)
260. Berkata Imam Ibnu Qudamah dan Imam
al-Ghazali: “Puasa ada 3 tingkatan: 1. Puasa Umum, menahan lapar, dahaga,
syahwat. 2. Puasa Khusus, menahan lisan, tangan, kaki, mata, telinga dari dosa.
3. Puasa Paling khusus, hatinya puasa dari dunia, dan hal yang menjauhkan diri
dari Allah dan selain Allah.” (Minhajul Qosidin Hal.55, Ihya' 1/324 )
261. Berkata al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hambali
rahimahullah: “Barang siapa yang puasa dari syahwat dunia maka dia akan
menemukannya di syurga, barang siapa yang berpuasa dari selain Allah maka Idul
Fitrinya dia akan bertemu Allah.” (Latho'iful Ma'arif, hal.299)
262. Berkata al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hambali
rahimahullah: “Ketika Imam Abdullah bin Ghalib dimakamkan maka urukan tanahnya
berbau harum kemudian seseorang bermimpi ketemu beliau dan ditanyakan mengapa
tanah kuburan Imam menjadi harum? maka beliau berkata: “Itu disebabkan kerana
banyak baca al-Qur'an dan puasa.” (Latho'iful Ma'arif, hal.86 )
263. Berkata al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hambali
rahimahullah: “Berbahagialah orang yang selalu lapar (puasa) untuk meraih hari
yang mengenyangkan besar, berbahagilah orang yang selalu dahaga, untuk meraih
hari yang tidak ada lagi kedahagaan, berbahagialah seseorang yang meninggalkan
syahwat dunia demi memperoleh yang dijanjikan yang tidak terlihat.” (Latho'iful
Ma'arif, hal.83)
264. Berkata Abu Darda' Radhiallahuanhu: “Yang
paling aku takuti kelak pada hari kiamat ketika Allah memanggilku dihadapan
seluruh makhluk, Allah berfirman: “Wahai Umair! Adakah kamu mengamalkan ilmu
yang kamu ketahui.” (Fathul Bari: 1/110, Tsamrotul Ilmil Amal:
hal.16)
265. Berkata Imam Malik bin Dinar
rahimahullah: “Seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya maka hilang sentuhan
hati nasihatnya seperti hilangnya titisan air yang jatuh di suatu tempat.”
(al-Iqtidho', hal.97)
266. Berkata Imam as-Syafii rahimahullah: “Dan
aku mengakui hak salafus soleh yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan memegang dengan keutamaan-keutamaan
mereka, dan aku menahan diri dari perkara yang mereka perselisihkan baik yang
kecil atau besar.” (al-Amru Bil Ittiba', hal.34)
267. Seorang salafus soleh bersyair: “Telah
kamu lewati waktu dan hari-harimu kamu hasilkan penuh dosa, telah datang utusan
kematian sedang hatimu lalai, kesenanganmu di dunia hanyalah tipuan dan
penyesalan dan hidupmu di dunia akan hilang dan binasa.” (Irsyadul Ibad Lil
Isti'dadi yaumil Ma'ad, hal.9)";
268. Berkata Abul Atahiyyah dalam sya'irnya:
“Aku tidak tahu, jika aku renungkan usiaku, bisa jadi saat pagi hari aku tidak
akan jumpa petang hari, tidakkah engkau lihat setiap pagi hari umurmu lebih
pendek dari pagi kemarin.” (Jami'ul Ulum Wal Hikam, no.40)
269. Berkata Imam Fudhail bin Iyadh
rahimahullah: “Kita bergembira dengan hari-hari yang kita lalui, setiap hari
yang lewat, mendekatkan diri dari ajal, maka beramallah untuk dirimu sebelum
mati dengan sungguh-sungguh dan jangan main-main, sesungguhnya kerugian dan
keuntungan ada dalam amal.” (Thobaqotul auliya' 1/45, Tarikh Dimasyqy
48/451)
270. Berkata Imam as-Syafii rahimahullah :
“Aku hairan melihat orang yang banyak tertawa padahal kematian selalu
mencarinya.” (Diwan, hal.54)
271. Berkata al-Hafidz Imam Ibnu Rajab
al-Hambali rahimahullah: “Ya Allah, Jadikanlah akhir amalku dengan kebaikan, dan
jadikanlah akhir umurku dengan kebaikan.” (Latho'iful Ma'arif,
hal.579)
272. Berkata Luqman kepada anaknya: “Wahai
anakku! Jangan engkau tunda taubat, sesungguhnya mati datang tiba-tiba, dan
jangan engkau mengharap akherat tanpa amal, dan jangan engkau tunda taubat
dengan banyak lamunan.” (Latho'iful Ma'arif, hal. 584)
273. Berkata Sa'ad al-Khair al-Anshari
as-Syahid Badar Radhiallahuanhu: “Wahai anakku putuskanlah apa yang ada di
tangan manusia kamu akan kaya, dan jangan mencari apa yang ada di sisi manusia
itu adalah suatu kemelaratan, dan jauhilah perbuatan yang salah, dan solatlah
seakan-akan kamu tidak solat lagi.” (HR. Abu Dawud, no.337)
274. Hassan bin 'Athiyyah rahimahullah
berkata: Dua raka'at yang dilaksanakan sesuai dengan tuntutan (sunnah)
Rasulullah sallahu 'alaihi wasallam, lebih baik daripada tujuh puluh rakaa'at
yang dilaksanakan tidak sesuai dengan sunnah.";
275. Imam Nawawi rahimahullah berkata: Tidak
disyaratkan untuk orang yang mahu menyuruh amal ma'ruf dan nahi mungkar itu,
dirinya sempurna. (Syarah Sahih Muslim)
276. Nisbatun nubuwah ialah apa yang ada dalam
fikir Rasulullah s.a.w, Allah letak dalam fikiran kita. Apa yang ada dalam hati
Rasulullah s.a.w, Allah letak dalam hati kita. Sehingga risau nabi jadi risau
kita, sayang nabi kepada umat juga sayang kita kepada umat. Malam kita seperti
malam Rasulullah s.a.w, siang hari kita seperti siang Rasulullah
s.a.w.
277. Ibnu Qayyim al- Jauziyyah rahimahullah
berkata: Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas
dari tiga (kerosakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah
hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada akhirnya.
(Ighatsatul Lahfan, hal. 83-84, Mawaaridul amaan)
278. Sesungguhnya orang yang paling dermawan
di dunia adalah orang yang menunaikan hak-hak Allah Swt, walaupun orang lain
melihatnya sebagai orang kikir dalam hal lain. Dan sesungguhnya orang yang
paling kikir di dunia adalah orang yang kikir terhadap hak-hak Allah Swt,
walaupun orang lain melihatnya sebagai orang yang dermawan dalam hal lain.
(Wahab bin Munabbih)
279. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menukil
ucapan ‘Ali bin Abu Thalib radhiallahu 'anhu: “Tidaklah turun musibah kecuali
dengan sebab dosa dan tidaklah musibah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
kecuali dengan bertaubat.” (Al-Jawabul Kafi, hal.118)
280. Hidup ini ibarat membuka lembaran sebuah
buku. Makin banyak lembaran yang kita buka, makin sedikit lembaran yang tersisa.
Akhirnya lembaran itu pun akan habis. Begitulah perjalanan kita menuju ajal. -
Tamthil
281. Hasan al-Bashri berkata: “Seorang mukmin
semestinya bersedih setiap pagi dan petang, dan tidak ada yang lebih baik
baginya selain itu. Itu kerana dirinya senantiasa dihimpit dua kekhuatiran:
Dosanya di masa lalu yang dia tidak tahu apa balasan Allah terhadapnya, dan
umurnya yang masih tersisa yang dia tidak tahu dosa apa yang bakal
diperbuatnya.” (Hilyatul Auliya’: 1/264)
282. Imam al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya
aktivitas amar makruf nahi mungkar adalah poros(puncak) yang paling agung dalam
agama. Karena aktivitas inilah Allah mengutus para nabi seluruhnya. Seandainya
umat Islam mengkerdilkan amar makruf nahi mungkar, tidak mau memahami dan
mengamalkannya, tentu akan berhenti nubuwwah ini; kesesatan akan tersebar luas,
kebodohan akan menjadi hal yang lumrah, kerusakan akan merajalela, pelanggaran
akan semakin meluas, negeri-negeri akan hancur, dan manusia akan binasa.”
(Ihyâ’‘Ulûm ad-Dîn, 2/306)
283. Berkata Ibnu Mas'ud dan Mu'adz bin Jabbal
Radhiallahuanhuma: “Duduklah bersama kami sesaat untuk menambah iman kita.”
(at-Taudhih wal Bayan Lisyajarotil Iman, hal.38)
284. Menunda-nunda perbuatan baik adalah salah
satu tentera di antara bala tentera Iblis yang telah membinasakan ramai orang.
(Abu al-Jald)
285. Yahya bin Abi Katsir berkata: “Ilmu tidak
dapat diperoleh dengan bersantai-santai.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi:
1/91)
286. Imam Syafi’i berkata: “Seseorang tidak
akan mencapai hasil dalam bidang ini sampai kefakiran menimpanya, dan dia
mendahulukan ilmu atas segala sesuatunya”. (Siyar A’lam an-Nubala:
10/89)
287. Abdurrahim bin Ali al-Qadhi (wafat 596 H)
dalam suratnya yang ia tujukan kepada Al 'Imad al-Asbahani, beliau berkata:
“Kulihat setiap orang yang menulis sebuah buku, esoknya selalu mengatakan:
'Andaikan bagian ini diubah tentu lebih baik, andaikan bagian ini ditambahkan
tentu lebih bagus, andaikan bagian ini didahulukan tentu lebih pas, dan andaikan
bagian ini dibuang tentu lebih indah'. Ini merupakan pelajaran dan bukti
kekurangan yang selalu ada pada diri manusia.” (At-Tajwid wa Ulumul Qur'an:
33)
288. Imam al-Auza'i rahimahullah ditanya
tentang iman, apakah bertambah dan berkurang? Beliau berkata: “ Ya, bertambah
seperti gunung dan berkurang sampai hilang dan tidak tersisah.” (at-Taudhih wal
Bayan Lisyajarotil Iman, hal.38)
289. Mughirah berkata: “Sesungguhnya aku
merasa puas dalam hal membatasi pembicaraanku, sebagaimana kalian merasa puas
dengan banyak berbicara.” (Al-Jami’ li Akhlaqi ar-Rawi wa Adabi as-Sami’:
736)
290. Syuraih al-Qadhi yang berkata: “Rombongan
yang berangkat haji banyak, tetapi orang yang haji sedikit. Betapa banyak orang
yang mengerjakan kebaikan, tetapi sangat sedikit orang yang meniatkan ikhlas
mengharap redha-Nya.” (Lathaif al-Ma’arif: 419-120)
291. Ibnu ‘Aun berkata: “Janganlah engkau
merasa selamat dengan banyaknya amal, kerana sesungguhnya engkau tidak tahu
apakah amalmu diterima atau tidak. Dan janganlah engkau merasa aman dari
dosa-dosamu, kerana sesungguhnya engkau tidak tahu apakah dosa-dosamu diampuni
atau tidak.” (Jami’ul Ulum Wal Hikam: 1/174)
292. Imam Ibnul Qayyim berkata: “Andaikata
kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya,
maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun akal kita sangat terbatas,
pengetahuan kita terlalu sedikit, dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika
dibandingkan dengan ilmu Allah sebagaimana sinar lampu yang sia-sia dibawah
sinar matahari. Dan inipun hanya kira-kira, yang sebenarnya tentu lebih dari
sekadar gambaran ini.” (Syifa’ul Alil fi Masail Qadha wal Qadar wa Hikmah wa
Ta’lil: 452)
293. Urwah bin Zubair berkata: “Sesungguhnya
aku benar-benar berdoa kepada Allah meminta segala keperluanku, sampai-sampai
dalam perkara garam.” (Al-Fawakih ad-Dawani Syarh Risalah Ibn Zaid al-Qirwani:
1/211)
294. Abu Ja’far al-Balkhi berkata: “Telah
sampai kepadaku bahwa Abu Hanifah dulu jika ia mendapat kesulitan atau ragu-ragu
dalam suatu permasalahan, maka ia berkata kepada sahabat-sahabatnya: ‘Tidaklah
ini terjadi melainkan kerana dosa yang telah aku perbuat’. Lalu beliau
beristighfar, dan kadang-kadang beliau berwudhu dan melakukan solat dua rakaat
lalu beristighfar, maka setelah itu selesailah masalahnya. Beliau berkata: ‘Aku
selalu menggantungkan harapanku kepada Allah, dan meyakini bahwasanya Dia
mengampuni dosa-dosaku, sehingga aku dapat menyelesaikan masalah yang kuhadapi.”
(‘Uqud al-Juman fi Manaqib al-Imam al-A’zham Abu Hanifah an-Nu’man:
228-229)
295. Imam Nawawi menceritakan bahawa Abu Ishaq
asy-Syirazi (pengarang kitab Muhadzdzab) tidaklah membahas suatu masalah
melainkan sebelumnya beliau memohon pertolongan (isti’anah) kepada Allah. Selain
itu tidaklah beliau menulis suatu permasalahan melainkan diawali dengan solat
beberapa rakaat terlebih dahulu untuk meminta petunjuk kepada Allah. (Muqaddimah
al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab: 1/15)
296. Berkata Ibnu Hazm: “Apabila orang yang
mencegah dari perbuatan keji mesti orang yang tidak memiliki kesalahan, dan
orang yang memerintah kepada kebaikan mesti orang yang selalu mengerjakan
kebajikan, maka tidak ada seorangpun yang mencegah dari yang munkar dan tidak
ada seorang pun yang mengajak kepada kebaikan setelah Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an: 1/367)
297. Imam Nawawi berkata: “Para ulama
menyatakan bahawa tidak disyaratkan pada orang yang mengajak kepada kebaikan
atau orang yang mencegah dari kemungkaran untuk mencapai kesempurnaan dalam
segala hal. Tetapi, ia mesti tetap mengajak kepada kebaikan walaupun ia memiliki
kekurangan dalam hal yang ia ajak kepadanya, dan ia tetap mencegah kemungkaran
walau ia terkadang mengerjakan apa yang ia cegah. Kerana sesungguhnya wajib pada
dirinya dua perkara iaitu: mengajak dirinya sendiri ke arah kebaikan dan
mencegah dari kemungkaran, dan mengajak orang lain ke arah kepada kebaikan dan
mencegah mereka dari yang mungkar. Tidak boleh ia melalaikan salah satu dari dua
perkara tersebut.” (Syarah Shahih Muslim: 2/23)
298. Ibrahim an-Nakha'i berkata: “Sesungguhnya
aku mendapatkan jiwaku membisikkan kepadaku agar mengatakan sesuatu. Tidaklah
ada yang mencegahku dari mengatakannya melainkan kekhuatiranku akan tertimpa
seperti yang kuucapkan.” (Dzamm al-Baghyi: 56)
299. Auf bin Nu’man radhiyallahu 'anhu pernah
berkata: “Di zaman jahiliyah, seseorang lebih baik mati dalam keadaan kehausan
daripada ia mengingkari janji.” (Adab al-Imla wal Istimla: 41, Tajrid Shahabah:
429)
300. Amr bin Harits berkata: “Di zaman salafus
soleh, aku jumpai orang yang berjanji pasti ia memenuhinya. Tapi di zaman
sekarang aku merasa lelah dengan orang yang berjanji tapi mengingkarinya.” (Uyun
al-Akhbar: 3/145)