301. Sulaiman bin Dawud berkata kepada
anaknya: “Wahai anakku, apabila engkau berjanji maka janganlah engkau
mengingkarinya. Kerana mengingkari janji dapat mengubah rasa cinta menjadi rasa
benci.” (Adab al-Imla wal Istimla: 41)
302. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata:
“Telah menceritakan kepadaku Harun bin Sufyan al-Mustamli, dia berkata: Aku
pernah bertanya kepada bapakmu, Ahmad bin Hanbal: 'Bagaimana engkau dapat
mengetahui seseorang itu termasuk pendusta?' Beliau menjawab: 'Dari janji-janji
mereka'.” (Ma'alim fi Thariq Thalab al-Ilmi: 164)
303. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu
pernah menuturkan: “Ketahuilah, perumpamaan sabar dengan iman seperti kepala
dengan badan. Jika kepalanya terpotong maka binasalah badannya.” (Uddatush
Shabirin: 95)
304. Berkata Al-Hasan: “Sabar adalah
perbendaharaan syurga yang tidak diberikan Allah kecuali bagi hamba yang mulia
di sisi-Nya.” (Uddatush Shabirin: 95)
305. Umar bin Khattab radhiallahuanhu berkata:
“Kami mendapati keutamaan hidup dengan bersabar. Kalaulah sabar itu adalah
seorang lelaki maka tentulah ia sangat mulia.” (Uddatush Shabirin:
95)
306. Al-Imam Ibnu Hazm berkata: “Aku berusaha
meneliti sesuatu yang dicari oleh semua orang. Ternyata kudapatkan semua orang
mencari: ketenangan hidup dan hilangnya kegelisahan.” (Mudawah an-Nufus:
76).
307. Imam Asy-Syaukani menjelaskan maksud ayat
“kehidupan yang baik” adalah kebahagiaan hidup di dunia. Dan kebahagiaan di
akhirat dijelaskan pada ayat selanjutnya (QS. An-Nahl: 97): “Dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.” (Fathul Qadir: 3/297)
308. Imam Ibnul Qayyim berkata mengenai ayat
(QS. An-Nahl: 97): Ini adalah berita gembira dari Yang Maha Benar. Dia
memberitahu hamba-Nya bahwa sesungguhnya orang yang beramal soleh akan
dihidupkan Allah dengan kehidupan yang baik menurut kadar amal dan imannya.
Selanjutnya beliau berkata: Maka Allah Taala mengkhabarkan kebahagiaan orang
yang berilmu dan beramal soleh. Di dunia dijamin hidupnya bahagia, dan di
akhirat mendapatkan balasan yang lebih baik pula. (Badai'ut Tafsir:
3/51)
309. Ibrahim bin Adham berkata: “Seandainya
para raja dan anak-anak raja mengetahui kenikmatan hati kami, niscaya mereka
akan merebutnya walaupun dengan menebas kami dengan pedang-pedang mereka.”
(Hilyatul Auliya': 7/370)
310. Al Imam Ibnu Hazm (wafat 456 H) berkata:
“Adapun celaan manusia, kalau memang benar maka hal itu dapat mencegahnya dari
perbuatan tercela. Namun apabila celaannya tidak benar dan dia sabar, bererti
dia mendapatkan keutamaan sabar dan akan mengambil pahala kebajikan orang yang
mencelanya, sehingga dia akan menuai pahala kelak di hari kiamat dengan
perbuatan yang tidak memberatkan pula.” (Mudawah an-Nufus wa Tahdzib al-Akhlaq:
80)
311. Al Imam Ibnu Hazm (wafat 456 H) berkata:
Seseorang yang mencermati dengan saksama -sekalipun pahit rasanya- akan
mengetahui bahwa celaan manusia kepadanya justeru lebih baik daripada pujian
mereka. Kerana pujian manusia dapat membuatnya lupa diri dan menimbulkan ujub
yang akan merosak keutamaannya. (Mudawah an-Nufus wa Tahdzib al-Akhlaq:
80)
312. Ibnu Buraidah berkata: Aku melihat Ibnu
Abbas radiallahu 'anhu memegang lidahnya sambil berkata: “Celaka kau lidah,
ucapkanlah kebaikan, nescaya kau beruntung. Dan jangan kau ucapkan ucapan yang
buruk, nescaya kau selamat. Jika tidak demikian, maka engkau akan menyesal.”
Bahkan Ibnu Mas'ud radiyallahu 'anhu pernah bersumpah bahawa tidak ada di dunia
ini sesuatu yang paling perlu dipenjara dalam waktu yang lama melebihi lisan.
(Jami'ul Ulum wal Hikam: 241, 244)
313. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali berkata: “Ciri
ilmu yang bermanfaat diantaranya sedikit berbicara, kerana takut jika terjadi
kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnya sedikitnya
perkataan orang-orang terdahulu (salafus soleh) bukanlah kerana mereka tidak
mampu untuk berbicara banyak, tetapi lebih disebabkan kerana mereka memiliki
sifat wara' dan takut kepada Allah Ta'ala.” (Fadhlu Ilmi Salaf 'ala Ilmi
Khalaf)
314. Imam Nawawi rahimahullah berkata:
“Ketahuilah, setiap orang yang telah dewasa dan mukallaf seharusnya menjaga
lisannya dari segala bentuk perkataan, yakni tidaklah ia berkata kecuali
perkataan yang betul-betul mengandungi manfaat. Jika manfaat yang terkandung
sama diantara ia diam atau berbicara, maka tindakan yang sesuai sunnah adalah
sebaiknya ia memilih diam. Kerana terkadang ucapan yang mubah, lambat-laun akan
mengantarkan untuk mengucapkan kata-kata yang haram atau makruh. Kejadian
seperti itu banyak terjadi. Sedangkan selamat dari mengucapkan sesuatu yang
haram merupakan harta yang tidak ternilai.” (Al-Adzkar: 284)
315. Syair As-Safarini dalam Gidzaaul Al Baab
(II/233), ia berkata: “Sebaik-baik dan paling sempurnanya akhlak seorang pemuda,
adalah kerendahan hatinya kepada manusia padahal kedudukannya mulia.”
316. Ibnul Mubarak pernah mengingatkan:
“Jadilah engkau orang yang tawadhu' dan tidak menyukai akan menjadi terkenal.
Namun janganlah engkau pura-pura tawadhu' sehingga engkau menjadi riya'.
Sesungguhnya mengaku diri sebagai orang yang tawadhu' justeru mengeluarkanmu
dari ketawadhu'an, kerana dengan caramu tersebut engkau telah menarik pujian dan
sanjungan manusia.” (Shifatush Shafwah: IV/137)
317. Abu Bakr r.a berkata: “Wahai manusia,
sesungguhnya aku telah dilantik menjadi pemimpin kamu, bukanlah aku yang terbaik
dalam kalangan kamu. Jika aku betul, tolonglah aku. Jika aku salah, betulkanlah
aku. Taatlah aku selagi aku taatkan Allah dan RasulNya. Jika aku derhakakan
Allah dan RasulNya, maka tiada ketaatan untukku.” (Al-Kamil fi al-Tarikh:
1/361)
318. Berkata Fudhoil bin 'Iyaadh: “Kalau
seandainya aku memiliki sebuah doa yang mustajab (dikabulkan) maka aku akan
mendoakan untuk kebaikan Imam (pemimpin) kerana baiknya imam merupakan kebaikan
bagi negeri dan masyarakat.” (As-Siyar, 8/434)
319. Berkata Fudhail bin 'Iyaadh: “Telah
sampai berita kepadaku bahawasanya para ulama dahulu jika mereka menuntut ilmu
maka mereka mengamalkannya, dan jika mereka beramal maka mereka menjadi sibuk
(beramal), dan jika mereka sibuk maka mereka tidak nampak, dan jika mereka tidak
nampak maka mereka pun dicari-cari, dan jika mereka dicari-cari maka mereka pun
lari menghindar.” (As-Siyar, 8/439-440)
320. Abu Qilabah berkata: “Apabila engkau
mendengar khabar yang menceritakan keburukan saudaramu, maka carilah alasan agar
tetap bersangka baik kepadanya. Jika engkau tidak dapatkan apa-apa alasan, maka
katakanlah pada dirimu: Mungkin saudaraku itu memiliki alasan yang aku tidak
mengetahuinya.” (Shifatush Shafwah)
321. Ibnul Mubarak (wafat 181 H) pernah
meminjam pena kepada seseorang ketika ia berada di negeri Syam. Lalu beliau lupa
mengembalikannya, dan pena itu ikut terbawa ketika ia meninggalkan Syam. Waktu
Ibnu Mubarak telah sampai di Antokia(wilayah di Turki), beliau baru teringat
bahawa dirinya belum mengembalikan pena tersebut kepada pemiliknya. Kemudian
beliau kembali ke Syam dengan berjalan kaki untuk mengembalikan pena tersebut.
(Asna al-Mathalib fi Shilah al-Arham wa al-Aqarib: 279)
322. Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan:
“Taqwa adalah kamu mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya
dari Allah dengan mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan
kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah disertai rasa takut akan siksaan
dari Allah.” (Tafsir al-Qur'an al-'Azhim: 6/222)
323. Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata:
“Sesungguhnya orang yang berbahagia itu adalah yang mengambil ikhtibar daripada
kejadian yang menimpa orang lain.” (al-Fawa'id, hal.140)
324. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Carilah hatimu pada tiga tempat, ketika mendengarkan bacaan al-Qur’an, pada
saat berada di majelis-majelis dzikir/ilmu, dan saat-saat bersendirian. Apabila
kamu tidak berhasil menemukannya pada tempat-tempat ini, maka mohonlah kepada
Allah untuk mengaruniakan hati kepadamu, kerana sesungguhnya kamu sudah tidak
memiliki hati -yang hidup- lagi.” (al-Fawa'id, hal. 143)
325. Imam Malik mengatakan: “As Sunnah adalah
seperti perahu Nabi Nuh. Barang siapa yang menaikinya maka dia akan selamat. Dan
barang siapa yang tertinggal darinya maka dia akan tenggelam.”
326. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Hasad adalah sekadar benci dan tidak suka terhadap kebaikan yang ada pada orang
lain yang ia lihat.” (Amrodhul Qulub wa Syifauha, hal. 31)
327. Umar bin Abdil Aziz mengatakan:
“Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerosakan yang ditimbulkan
lebih besar daripada perbaikan yang dilakukan.” (Al Amru bil Maruf:
15)
328. Al-Qadhi mengatakan: “Orang yang berilmu
diumpamakan seperti bulan dan abid (ahli ibadah) diumpamakan seperti bintang
kerana kesempurnaan ibadat dan cahayanya tidaklah muncul dari abid. Sedangkan
cahaya orang yang berilmu berpengaruh pada yang lainnya.” (Tuhfatul Ahwadzi,
7/376)
329. Ibnu Mas'ud berkata: “Rasa takut kepada
Allah Ta'ala, sudah cukup dikatakan sebagai ilmu. Anggapan bahawa Allah tidak
mengetahui perbuatan seseorang, sudah cukup dikatakan sebagai kebodohan.”
(Mushannaf Ibni Abi Syaibah, no. 34532)
330. Al Fudahil bin Iyadh berkata: “Cukuplah
kematian sebagai peringatan (berharga).” (Az Zuhd-Al Baihaqi)
331. Imam Hasan al-Bashri berkata: “Orang
mukmin bersangka baik kepada Rabb-nya (Allah Ta'ala) maka dia pun memperbaiki
amal perbuatannya, sedangkan orang-orang kafir dan munafik bersangka buruk
kepada Allah maka mereka pun memperburuk amal perbuatan mereka.” (Tafsir Imam
Ibnu Katsir, 4/121)
332. Syeikh Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah
menyatakan: “Di antara sebab dan faktor pendorong keimanan adalah tafakur kepada
alam semesta berupa penciptaan langit dan bumi serta makhluk-makhluk penghuninya
dan meneliti diri manusia itu sendiri beserta sifat-sifat yang dimiliki. Ini
semua adalah faktor pendorong yang kuat untuk meningkatkan iman.”
333. Berkata Imam Syafi'i rahimahullah: “Semua
orang senang pada wanita, tetapi mereka berkata: Mencintai wanita adalah awal
sebuah derita. Bukan wanita yang membuat menderita, tapi mencintai wanita yang
tidak mencintaimu itu yang membuat penderitaan bagimu.” (Diwan, hal.
12)
334. Imam Syafi’i pernah mengatakan: “Aku
pernah meminum air zam-zam untuk 3 permohonan: Pertama, agar aku dijadikan
pandai dalam memanah, maka permohonanku dikabulkan sehingga tidak ada sasaranku
yang meleset, kedua agar aku dikaruniai ilmu, sehingga keadaanku seperti yang
kalian lihat dan ketiga agar aku dapat masuk surga. Aku berharap semua itu dapat
tercapai.” (Al-Jawahir wa ad-Durar: 79)
335. Ali bin Abdurrahman bin Hudzail berkata:
“Ketahuilah, bahawa membaca kisah-kisah dan sejarah-sejarah tentang orang yang
memiliki keutamaan akan memberikan kesenangan dalam jiwa seseorang. Kisah-kisah
tersebut akan melegakan hati serta mengisi kehampaan. Membentuk watak yang penuh
semangat dilandasi kebaikan, serta menghilangkan rasa malas.” ('Ainul Adab wa
As-Siyasah: 158)
336. Syaikh Ibnu Jibrin berkata: “Pada
umumnya, barangsiapa yang menghafal dengan cepat tanpa mengulanginya maka ia
akan cepat lupa. Dan sungguh kebanyakan penuntut ilmu zaman dahulu mencurahkan
kesungguhan dalam mengulang bacaan. Sampai-sampai salah seorang dari mereka
membaca satu kitab sebanyak 100 kali sehingga melekat dalam benaknya.” (Kaifa
Tathlub al-‘Ilm: 31)
337. Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H), beliau
berkata: “Demi Allah, aku sangat menyayangkan terlewatnya kesempatan menyibukkan
diri dengan ilmu pada saat makan. Sesungguhnya waktu amat sangat berharga.”
(Uyun Al Anba’ fi Thabaqat Ath-Thiba’: 2/34)
338. Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu pernah
bersumpah bahawa tidak ada di dunia ini sesuatu yang paling perlu dipenjara
dalam waktu yang lama melebihi lisan. (Jami’ul Ulum wal Hikam: 241,
244)
339. Dari Abdullah bin al-Qasim, ia berkata:
“Kerana menuntut ilmu, membuat Imam Malik membongkar rumahnya dan menjual
kayunya. Setelah itu kemuliaan mendekatinya.” (Tartib al-Madarik:
1/130)
340. Diriwayatkan dari Utsman RadialLahu'anhu:
“Bingung dalam memikirkan perkara dunia akan menjadikan hati gelap, sedangkan
bingung memikirkan akhirat akan menjadikan hati terang.” (Nashaihul 'Ibad, Imam
Nawawi)
341. Berkata Imam Malik rahimahullah: “Ilmu
itu bukanlah pada banyaknya riwayat hadis, tetapi ilmu itu ialah cahaya yang
dijadikan oleh Allah SWT di dalam hati.” (Jami’ bayan ilm: 1/57)
342. Abdullah Ibnu Mas’ud pernah berkata:
“Sesuatu itu dianggap sebagai Ilmu bukanlah disebabkan kerana banyaknya riwayat
tetapi ilmu itu ialah apabila (membawa manusia) takutkan Allah.” (Jami bayan
Ilm: 2/58)
343. Imam Al-Barbahari mengatakan Islam adalah
as-Sunnah dan as-Sunnah adalah Islam, dan salah satunya tidak dapat berdiri
dengan sendiri. Maka, sesiapa yang berpegang dengan as-Sunnah dialah yang
melazimi al-Jama’ah (termasuk dalam Jama’ah). (Sharhus Sunnah, hal.
65)
344. Imam Ibnu Rejab Al-Hambali menyebut
tentang Ahlul Sunnah sebagai: “Jalan yang dilalui oleh Nabi
salallahualaihiwasalam dan yang diikuti oleh para sahabatnya yang terselamat
daripada syubhat dan syahwat.” (Kaysful Kurbah, hal.15)
345. Tidak ada sesuatu yang lebih sulit aku
ubati selain dari hawa nafsuku sendiri. Terkadang aku berhasil mengalahkannya,
tetapi di lain waktu ia berhasil mengalahkanku. (Sufyan ats-Tsauri)
346. Imam Asy-Syafi'i berkata: “Aku ingin
seandainya manusia menimba ilmu dariku dan tidak menisbatkan ilmu itu sedikitpun
kepadaku.” (Shifatush Shafwah: 1/234)
347. Imam Asy-Syafi'i berkata: “Aku ingin
setiap ilmu yang kuajarkan kepada manusia membuatku mendapat pahala dan aku
tidak ingin pujian keatasnya.” (Hilyatul Auliya: 9/118)
348. Umumiat ialah setiap orang jadi daie.
Apabila usaha dakwah dilakukan secara umumiat, pintu orang masuk Islam terbuka
luas dan pintu untuk orang Islam keluar dari Islam tertutup rapat. Bila usaha
dakwah tidak dijalankan, pintu untuk orang Islam keluar Islam terbuka luas dan
pintu untuk orang bukan Islam masuk Islam tertutup rapat. - Maulana Muhammad
Saad
349. Berkata Abu Darda’ dan Abdullah bin
Rawahah Radhiallahuanhuma: “Iman itu seperti gamis, kadang dipakai kadang
dilepas.” (al-Iman, no.30)
350. Kebaikan menghidupkan cahaya dalam hati
dan kekuatan dalam beramal. Sedangkan keburukan menyebabkan kegelapan dalam hati
dan kelemahan dalam beramal. (al-Mu'tamir bin Sulaiman at-Taimi)